Breaking News:

Konflik di Afghanistan

Seorang Asisten Profesor di Afghanistan Tak Dapat Gaji hingga Jadi Buruh Bangunan untuk Cari Uang

Seorang asisten profesor di universitas di Kabul terpaksa menjadi pekerja bangunan karena selama berbulan-bulan tidak mendapatkan gaji dan sulit uang.

Penulis: Alma Dyani Putri
Editor: Elfan Fajar Nugroho
YouTube/Al Jazeera English
Uang kertas Afghani, Afghanistan. Seorang asisten profesor di universitas di Kabul terpaksa menjadi pekerja bangunan karena selama berbulan-bulan tidak mendapatkan gaji dan kesulitan keuangan. 

TRIBUNWOW.COM – Seorang asisten profesor di Afghanistan, Khalilullah Tawhidyar, baru-baru ini memiliki pekerjaan baru sebagai buruh bangunan.

Itu dilakukan oleh Khalilullah Tawhidyar karena selama berbulan-bulan ini, dia tidak mendapatkan bayaran gaji.

Dikutip TribunWow.com dari Reuters, dengan penghasilan yang dia dapatkan sekitar Rp 47 ribu pada hari itu, dia membeli perbekalan untuk keluarganya.

Kekeringan di Afghanistan.
Kekeringan di Afghanistan. (AFP/Hoshang Hashimi)

Baca juga: Taliban Terpaksa Bayar Pekerja Pakai Gandum di Tengah Krisis yang Makin Parah di Afghanistan

Baca juga: Dilanda Kemiskinan dan Kelaparan, Keluarga di Afghanistan Terpaksa Jual Bayinya Seharga Rp 7 Juta

Khalilullah Tawhidyar adalah mantan anggota satuan tugas pemerintah untuk reformasi pendidikan.

Dia mengajar bahasa Inggris di Universitas Parwan di utara Kabul dan menjadi satu dari ribuan orang kelas menengah, warga Afghanistan berpendidikan yang memerangi kemiskinan saat ekonomi negara itu mengalami penurunan.

"Saya tidak punya pilihan," kata Tawhidyar.

Pria itu menambahkan bahwa dirinya belum menerima gajinya selama tiga bulan.

"Ini adalah kisah banyak orang terpelajar di sini sekarang."

Krisis keuangan di Afghanistan semakin memburuk, seusai berjuang melawan pandemi Covid-19 dan juga kekeringan parah.

Kondisi itu diperburuk dengan pengambilalihan negara oleh Taliban pada pertengahan Agustus lalu.

Tawhidyar yang memiliki gelar master dari India dan telah mengikuti kursus di Malaysia serta Sri Lanka, mengatakan bahwa dia terpaksa bekerja sebagai buruh karena kehabisan uang dan bahan makanan.

Meskipun terkadang dia masuk ke universitas negeri tempat dia bekerja, kelas belum dilanjutkan karena kekurangan dana.

Saat ini, Tawhidyar tinggal bersama keluarga besarnya, dan 17 orang hidup dengan bergantung pada gajinya.

"Saya menghasilkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan saya," katanya.

Ketika dia berhenti mendapatkan gaji, pria berusia 36 tahun itu meminjam dari teman dan kerabat.

Namun, uang tersebut habis beberapa minggu yang lalu.

Bahkan, istrinya yang sedang hamil besar telah melewatkan dua janji pertemuan dengan dokter.

"Situasinya makin buruk, kami tidak punya roti. Kami hanya menanak nasi dan kemudian nasi juga habis," ujarnya.

Baca juga: Larangan Taliban Buat Harga Opium Melonjak, Pedagang di Afghanistan: Haram tapi Tak Ada Pilihan Lain

Baca juga: Taliban Tak Segera Bayar Tagihan Listrik, Afghanistan Terancam Bisa Kembali ke Abad Kegelapan

Tawhidyar mengatakan dia membawa karung bahan bangunan di lokasi konstruksi ketika seorang teman memotretnya.

Kemudian, dia menulis pesan emosional di media sosial Facebook, yang juga menampilkan gambar tersebut pada pertengahan Oktober lalu.

"Saya sedang berpikir tentang di mana saya berada dalam batas hidup saya,” tulisnya.

Postingan itu dengan cepat menjadi viral dengan ribuan kali dibagikan di media sosial.

Beberapa temannya juga mengulurkan tangan untuk menyatakan simpati dan menawarkan bantuan keuangan.

Tawhidyar mengaku meminjam Rp 4,2 juta kepada teman dekatnya yang bersikeras memintanya mengambil uang tersebut.

"Tapi berapa lama saya akan meminjam? Saya sudah memiliki hutang ribuan dolar."

Namun, postingan tersebut tidak bertahan lama.

Dia yang khawatir akan adanya serangan balasan dan peringatan dari warga Afghanistan pendukung Taliban, telah menghapus postingan tersebut serta menonaktifkan akun Facebook miliknya.

Di sisi lain, Syed Bashir Aalemy, Kepala Departemen Bahasa Inggris di Universitas tempat Tawhidyar bekerja, mengatakan dia telah bekerja sebagai sopir taksi selama beberapa minggu terakhir.

"Tidak ada cara lain," kata Aalemy.

Dia menambahkan bahwa dengan semakin tingginya harga bahan bakar, kemungkinan pekerjaan tersebut juga akan menghilang.

Munculnya kelas menengah terpelajar, yang bekerja di bidang pendidikan dan pemerintahan atau untuk kelompok bantuan, bank dan perusahaan media hingga telekomunikasi, menjadi salah satu hasil yang paling terlihat dari 20 tahun keterlibatan Barat di Afghanistan.

Ribuan dari orang-orang itu melarikan diri dalam proses evakuasi, menyusul kemenangan mengejutkan Taliban pada 15 Agustus lalu.

Mereka takut untuk kembali ke negaranya karena pemerintahan keras Taliban dan kebebasan yang semakin terbatas.

Namun, bagi mereka yang tetap tinggal, kesulitan keuangan adalah hal biasa, bahkan di antara orang-orang kaya.

Abdul, seorang mantan polisi berusia 41 tahun di Kabul dan ayah dari empat anak, mengatakan bahwa dia baru saja menjual sebidang tanah terakhir yang dia warisi dari ayahnya untuk membeli taksi.

Dari pekerjaan itu, dia mendapatkan sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 80 ribu dalam sehari.

Menurutnya, uang tersebut hampir tidak cukup untuk digunakan membeli bahan makanan guna dikonsumsi sehari-hari oleh enam anggota keluarganya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan hampir 23 juta warga Afghanistan terancam kelaparan karena konflik, kekeringan dan penurunan ekonomi.

Penduduk Afghanistan juga telah menghadapi krisis uang tunai sejak Taliban menguasai ibu kota Kabul pada 15 Agustus lalu, dengan pemutusan akses oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan bank sentral Amerika Serikat.

Bantuan internasional sebagian besar juga telah hilang setelah pengambilalihan Afghanistan tersebut. (TribunWow.com/Alma Dyani P)

Berita terkait Konflik di Afghanistan lain

Tags:
AfghanistanKabulUniversitas ParwanCovid-19Taliban
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved