Terkini Daerah
Sumbangan Rp 2 Trilliun untuk Penanganan Covid-19 Hoaks, Ini Reaksi Prof Hardi sebagai Perantara
Sumbangan senilai Rp 2 trilliun dari keluarga pengusaha Akidi Tio ternyata hanya hoaks.
Penulis: Rilo Pambudi
Editor: Atri Wahyu Mukti
Dokter lanjut usia tersebut masih tampak kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Saya tidak tahu (uangnya ada atau tidak). Dia mengatakan pada saya ada (uang itu)," ujar dr Hardi.
Kombes Pol Ratno Kuncoro lalu menimpali lagi dengan pertanyaan yang sama.
Prof Hardi Darmawan setuju bila Heriyanti harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas kebohongan yang sudah dilakukannya.
"Ya kalau tidak ada, harus minta maaf ke masyarakat Indonesia," ujarnya.
Setelah menyampaikan hal tersebut, Prof Hardi Darmawan kemudian dibawa ke ruang Dir Krimum Polda Sumsel untuk dipertemukan langsung dengan Heriyanti.
Baca juga: Polda Sumsel Buka Suara soal Kabar Pencairan Sumbangan Rp 2 Triliun Akidi Tio
Fadli Zon: Bisa Dikenakan Pasal di UU No. 1 Tahun 1946
Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Fadli Zon adalah satu dari beberapa pihak yang skeptis terhadap sumbangan bernilai fantastis tersebut.
Meskipun kagum akan jumlah sumbangan tersebut, Fadli juga mewanti-wanti akan ada konsekuensinya jika sumbangan Rp 2 triliun itu ternyata tidak benar.
Komentar tersebut disampaikan oleh Fadli lewat akun Twitter-nya @fadlizon, Senin (2/8/2021).
Pada cuitannya itu, Fadli mengatakan jika sumbangan ini ternyata hoaks, maka dapat diproses secara hukum sesuai dengan pasal di Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946.
Dikutip dari dpr.go.id, pasal itu berbunyi "(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun."
Diketahui, sumbangan dari almarhum Akidi Tio nantinya akan dicairkan pada Senin (2/8/2021).
Berikut cuitan lengkap yang ditulis oleh Fadli:
"Hari masih pagi, mari kita tunggu sampai Senin sore nanti apakah akan masuk sumbangan Rp. 2 T. Kalau masuk berarti ini semacam mukjizat. Klu ternyata bohong, bisa dikenakan pasal2 di UU No.1 tahun 1946."
