Terkini Nasional
Rocky Gerung Sebut Alasan Takutnya Orang Mengkritik Bukan UU ITE: Di Era SBY Tak Ada Pemenjaraan
Pengamat Politik Rocky Gerung menyampaikan pandangannya terkait keberadaan UU ITE menyusul adanya wacana merevisi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Pengamat Politik Rocky Gerung menyampaikan pandangannya terkait keberadaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyusul adanya wacana merevisi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dilansir TribunWow.com, Rocky Gerung mengatakan bahwa faktor yang membuat masyarakat takut mengkritik bukan karena UU ITE.
Melainkan, menurutnya adalah tergantung dari sikap pemerintahannya itu sendiri.
Hal itu disampaikannya dalam acara talk show Rosi 'KompasTV', Kamis (18/2/2021).

Baca juga: Tagih Jokowi soal Revisi UU ITE, Burhanuddin: Kalau Komit, Saya Kira Bisa Secepat Omnibus Law
Baca juga: Effendi Simbolon Klaim Tak Ada Pasal Karet di UU ITE, Refly Harun: Kalau Tidak Ada Kita Tak Berdebat
Dalam kesempatan itu, Rocky Gerung lantas membandingkan dengan penerapan UU ITE pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang notabene sebagai pencetus undang-undang tersebut.
Dikatakannya bahwa pada era SBY tidak ada persoalan yang terjadi terkait UU ITE tersebut.
"Enggak ada satupun yang dilakukan oleh SBY dengan Undang-undang itu," ujar Rocky Gerung.
"Jadi Undang-undang itu biarin aja juga enggak ada soal, kalau pemerintahannya paham apa yang disebut demokrasi," jelasnya.
Sedangkan pada saat ini, meski tidak menuding langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rocky Gerung menyebut banyak kasus-kasus kritikan yang harus berurusan dengan kepolisian.
"Saya enggak bilang Jokowi," ungkapnya.
"Undang-undang ITE dibuat oleh SBY. SBY yang memenjarakan 200 ribu orang. Betul enggak fakta itu?" tanya Rocky Gerung.
"Oke saya jawab saja, enggak ada."
Maka dari itu, Rocky Gerung menilai dan membuktikan bahwa persoalan utamanya bukan dari UU ITE, melainkan sikap dari pemerintah.
"Jadi Undang-undang ITE itu ada atau tidak ada tergantung cara si presiden memandang demokrasi," ucap Rocky Gerung.
"Di zaman SBY UU ITE tidak menghasilkan pemenjaraan," tegasnya.
Baca juga: Kutip Ucapan Habibie, Said Didu Dukung Revisi UU ITE: Hentikan, Gak Ada Guna Penjarakan Teman
Lebih lanjut, Rocky Gerung mengatakan bahwa munculnya kasus penindakan terhadap orang yang menyuarakan pendapat sebagai bentuk pemerintah tidak paham arti dari demokrasi.
Dirinya juga menyalahkan sikap dari Jokowi dalam memandang dan memaknai oposisi.
"Jadi persoalannya undang-undang yang memenjarakan orang, bukan, yang memenjarakan orang adalah kedunguan pemerintah yang tidak paham demokrasi," ucap Rocky Gerung.
"Jadi Presiden di beberapa kesempatan yang strategis mengatakan Indonesia tidak mengenal oposisi karena itu bukan demokrasi."
"Justru oposisi itu dimaksudkan untuk mengucapkan kritik. Jadi kalau UU ITE itu direvisi tetapi isi kepala presiden tidak direvisi tentang pengertian oposisi tidak ada gunanya," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke-7.34:
Said Didu: Penjara Itu untuk Penjahat, Bukan untuk yang Berbeda Pendapat
Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Muhammad Said Didu tanggapi sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengisyaratkan untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dilansir TribunWow.com, Said Didu lantas mengungkit sikap dari Presiden ke-3 RI BJ Habibie dalam menyikapi kritik dan perbedaan pendapat.
Said Didu juga mengutip satu pernyataan BJ Habibie yang mengatakan bahwa penjara hanya untuk para penjahat, bukan tempat bagi yang berbeda pendapat.
Hal itu disampaikan dalam acara SATU MEJA THE FORUM 'KompasTV', Rabu (17/2/2021).
Baca juga: Bandingkan Penerapan UU ITE Era SBY dengan Jokowi, Haikal Hassan: Enggak Ada Kritikan yang Ditangkap
Baca juga: Refly Harun Minta UU ITE Dicabut Habis, Ngaku Merasa Waswas: Ada Buzzer Menunggu Kami Terpeleset
Dalam kesempatan itu, mantan Sekretaris Kemeterian BUMN itu mulanya mengatakan ada tiga poin penting dalam penegakan hukum untuk memenuhi rasa keadilan.
"Satu adalah materi hukumnya, peraturan perundangannya harus objektif dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun, sangat tegas dan tidak multi tafsir," ujar Said Didu.
"Kedua aparat hukumya harus objektf dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun," imbuhnya.
Selain dua syarat tersebut, faktor yang menentukan lainnya adalah di tangan pemerintah.
Menurutnya, pemerintah tidak boleh menggunakan atau mencampuri penegak hukum yang bersifat independen.
Apalagi dikatakan Said Didu digunakan untuk kepentingan pemerintah itu sendiri.
"Dan syarat ketiga adalah penguasa tidak boleh menggunakan hukum untuk menyisihkan lawan-lawan yang berbeda, pihak-pihak yang berbeda dengan pemerintah," kata Said Didu.
Terkait hal itu, Said Didu mencontohkan kasus yang dialami oleh teman-teman aktivis di KAMI yang ditahan.
Dirinya lalu mempertanyakan keadilan dalam penegakan hukum, khususnya menyoal UU ITE.
Baca juga: Apresiasi Jokowi Insaf soal UU ITE, Haris Azhar: Presiden Tahu Tidak Ada Polres Lakukan Pidana?
Pasalnya menurutnya, tidak semua kasus pelanggaran UU ITE bisa langsung ditindaklanjuti, khususnya yang sejalan dengan pemerintah.
"Teman-teman saya KAMI masih di penjara hanya karena penafsiran Undang-undang ITE," ungkapnya.
"Sementara laporan-laporan pihak lain yang dianggap pro pemerintah itu tidak diproses," imbuhnya.
Lebih lanjut, di akhir penjelasannya, Said Didu menyinggung sikap dan pernyataan dari BJ Habibie yang berbunyi bahwa penjara bukanlah tempat untuk mereka yang berbeda pendapat.
Bahkan Said Didu mengingat saat BJ Habibie justru membebaskan semua tahanan politiknya dan menghentikan semua proses penyidikan dalam kasus terkait.
"Saya masih ingat betul, saya mengingat Pak Habibie pada saat dia mengatakan 'penjara itu hanya untuk penjahat, bukan tempat untuk yang berbeda pendapat," ucap Said Didu.
"Saya pikir kalau itu kita pegang semua, maka negara ini akan menjadi damai," tegasnya. (TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)