Terkini Nasional
Kini Bela FPI, Refly Harun Akui Tak Terlalu Peduli bahkan Tak Suka: Termasuk Kasus Penganiayaan 2008
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengaku awalnya tidak suka dengan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI).
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku awalnya tidak suka dengan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI), meskipun kini kerap ia bela.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan melalui kanal YouTube Refly Harun, diunggah Rabu (6/1/2021).
Diketahui FPI dilarang melakukan kegiatan dan menggunakan atribut yang berkaitan, sesuai surat keputusan bersama (SKB) yang disetujui 6 pejabat tinggi negara.

Baca juga: Aliran Dana Rekening FPI terkait Tindak Pidana? PPATK Ungkap Alasan Pemblokiran: Tentu Kita Periksa
Selain itu, FPI dianggap tidak memiliki landasan hukum karena tidak memperpanjang surat keterangan terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri.
Menanggapi pelarangan tersebut, mulanya Refly menilai ada kejanggalan dalam SKB yang dikeluarkan.
"Kalau kita orang hukum, kita akan dengan mudah mengetahui kejanggalan-kejanggalan SKB tersebut," singgung Refly Harun.
Ia menyinggung ada alasan lain dirinya membela FPI dalam pelarangan kali ini.
"Tapi memang di masyarakat ini kadang-kadang orang tidak mau diajak berpikir secara logis menurut hukum, tapi terlibat dukung-mendukung, suka-tidak suka," kata Refly.
Refly mengaku dirinya dulu tidak suka dengan ormas tersebut.
Apalagi FPI dikenal sebagai ormas yang kerap menindak masyarakat layaknya wewenang aparat, seperti melakukan razia.
Refly menyinggung peristiwa insiden Monas yang terjadi 1 Juni 2008, di mana massa beratribut FPI menganiaya peserta aksi Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
"Kalau soal suka tidak suka, saya pun enggak terlalu peduli dengan FPI. Bahkan dulu sangat tidak suka ketika mereka melakukan kegiatan yang melanggar hukum," kata Refly.
"Termasuk peristiwa di Monas tahun 2008 di mana mereka melakukan penganiayaan terhadap peserta demonstrasi," lanjut dia.
Dalam kasus tersebut pemimpin FPI Habib Rizieq Shihab dan Sekjen FPI Munarman ditahan serta divonis bersalah.
Baca juga: Anggap Sebagian Orang Tepuk Tangan FPI Dilarang, Refly Harun: Jangan Terkesan Praktik Suka-suka
Mengingat kejadian tersebut, Refly mengingatkan perilaku individu harus dilepaskan dari organisasi yang diikutinya.
"Tetapi sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi, kita tidak boleh membiarkan pemerintah berkuasa dengan semena-mena, dengan sewenang-wenang membubarkan sebuah organisasi kemasyarakatan tanpa sebuah proses atau sebuah alasan yang solid," terangnya.
Ia menyebut alasan pelarangan suatu organisasi harus berdasarkan alasan yang tetap, bukan hanya karena pelanggaran yang dilakukan anggotanya.
"Salah satu solid foundation itu adalah putusan pengadilan. Jadi kalau kita mau melarang sebuah organisasi kemasyarakatan, alasannya harus betul-betul ketat dan tinggi," komentar Refly.
"Jangan alasan-alasan yang anggotanya terlibat sweeping, anggotanya terlibat teroris, anggota ini dan itu, yang sebenarnya tidak semata-mata ditimpakan ke organisasinya," tambah dia.
Lihat videonya mulai menit 9.00:
FPI Ganti Nama setelah Dilarang
Pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari mengomentari pilihan FPI mengganti nama sebagai Front Persatuan Islam.
Feri Amsari menganggap FPI memilih cara kekanak-kanakan untuk memertahankan organisasinya.
Seperti yang diungkapkannya dalam kanal YouTube Kompas TV, Sabtu (2/12/2021).
"FPI jangan kekanak-kanakan juga," ujar Feri.
"Karena kemudian FPI-nya tidak diperpanjang SKT kemudian mengganti nama."
Baca juga: Ini Ciri Konten FPI yang Dilarang Menurut Maklumat Kapolri: Dapat Dikenakan UU ITE
Baca juga: FPI Dilarang Beraktivitas, Keponakan Prabowo Subianto: Kita Tak Butuh Pihak yang Memecah Belah
Menurut Feri, FPI selayaknya menempuh cara lain yang lebih baik.
Ia berpendapat, FPI bisa menempuh jalur hukum untuk membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Enam Menteri.
"Mestinya menempuh jalur hukum yang lebih elegan ya," terangnya.
"Ke PTUN kalau memermasalahkan SKB Enam Menteri atau memermasalahkan undang-undangnya melalui proses judicial review di Mahkamah Konsitusi."
"Jadi mesti ditempuh jalur yang elegan."
"Atau memilih untuk menjadi perkumpulan," tambahnya.

Baca juga: Dewan Pers Akui Sempat Ada Keresahan soal Maklumat Kapolri terkait FPI: Tak Berlaku untuk Media
Terkait hal itu, Feri lantas membeberkan keuntungan yang diperoleh organisasi yang memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Selain bebas berserikat, organisasi tersebut juga berhak mendapat suntikan dana pemerintah.
"Karena ormas yang punya SKT dan statusnya berbadan hukum kan tujuannya sangat administratif," jelas Feri.
"Salah satunya mendapatkan bantuan dari negara."
"Jadi itu salah satu keuntungannya."
Meskpiun begitu, Feri tak membantah jika FPI bisa saja tetap berkumpul tanpa mendaftarkan organisasinya.
Namun menurut dia, FPI perlu kembali memertimbangkan langkah yang akan diambil.
"Apakah berserikat, berkumpul tidak harus mendaftarkan ke Kemenkumham? Bisa saja," terang Feri.
"Karena itu hak konstitusional."
"Ini langkah-langkah yang mesti dipertimbangkan oleh FPI."
Selain itu, Feri juga menyebut FPI perlu mengubah citra yang selama ini melekat.
Langkah hukumlah yang menurutnya bisa diambil FPI untuk memertahankan organisasinya.
"Apakah FPI dari organisasi yang katakanlah tukang rusuh dalam banyak hal kemudian telah berubah menjadi lebih baik kan memang harus ada pembuktian," jelas Feri.
"Dan FPI bisa bisa melakukannya melalui proses pengadilan."
"Bukan kemudian menempuh jalur atau langkah yang tidak tepat."
"Yang mengesankan bahwa FPI seolah-olah menentang pemerintah atau melakukan langkah-langkah di luar jalur hukum," tukasnya. (TribunWow.com/Brigitta/Tami)