Terkini Nasional
Sebut 30 Persen Menteri Tak Dibutuhkan, Rocky Gerung Minta Jokowi Rampingkan: Tidak Melanggar UU
Pengamat Politik, Rocky Gerung menyebut setidaknya ada 30 persen menteri yang tidak dibutuhkan di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Pengamat Politik, Rocky Gerung menyebut setidaknya ada 30 persen menteri yang tidak dibutuhkan di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Dilansir TribunWow.com, Rocky Gerung mengatakan bahwa seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan hanya melakukan reshuffle.
Hal itu diungkapkan Rocky Gerung melalui kanal YouTube pribadinya, Rocky Gerung Official, Senin (4/1/2021).

Baca juga: Pro dan Kontra Blusukan Mensos Risma, Rocky Gerung: Yang Harus Dibenerin Bukan Gorong-gorong
Baca juga: Jokowi Sahkan PP Kebiri Kimia bagi Predator Seks, Begini Beda Respos Komnas PA dan Komnas Perempuan
"Kan kabinet kemarin direshuffle, itu mustinya di-resizing, di atur ulang sizenya, dibikin ramping kabinet itu," ujar Rocky Gerung.
"Mungkin 30 persen menteri tidak diperlukan dulu, kan Presiden bisa lakukan itu," ungkapnya.
Di dalam kondisi darurat seperti pandemi Covid-19 saat ini, Rocky Gerung mengakui keputusan untuk merampingkan kementerian tidak melanggar Undang-undang.
"Itu tidak melanggar Undang-undang, walaupun Undang-undang bilang harus ada kementerian, tapi keadaan darurat perpolitikan birokrasi bisa dipakai dasar yang sama," kata Rocky Gerung.
Menurutnya, banyak kementerian yang tidak bisa bekerja lantaran bidangnya terdampak pandemi.
Dengan begitu, Rocky Gerung menilai hanya pemborosan anggaran.
Dirinya menambahkan bahwa anggaran tersebut lebih tepat dialihkan untuk penanganan langsung pandemi Covid-19.
"Efisiensi itu bisa dipakai misalnya untuk subsidi warteg-warteg sekarang yang terpaksa jual lebih mahal tahu tempe," ungkapnya.
Baca juga: Soal Maklumat Kapolri, Hamdan Zoelva Sebut Sebarkan Konten FPI Tak Bisa Dipidana: Beda dengan PKI
Lebih lanjut, Rocky Gerung menilai ada pemikiran yang keliru dalam membuat sebuah kebijakan, apalagi di tengah kondisi darurat.
"Paket kebijakan itu tidak dibuat dengan prediksi sosial yang tepat. Dianggap public policy itu adalah kebijakan anggaran, bukan, public policy adalah kebijakan sosial," terangnya.
"Karena itu variabel sosial harus mendahului variabel makro ekonomi di dalam perencanaan," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 5.30