Virus Corona
Apa Itu Delirium, Gejala Baru yang Dialami Pasien Covid-19, Simak Penjelasan Dokter Spesialis Saraf
Delirium dilaporkan menjadi gejala baru Covid-19 yang diamati dari pasien yang terkonfirmasi positif terinfeksi Virus Corona. Ini penjelasannya.
Editor: Rekarinta Vintoko
Menurut Ely, informasi ini perlu disampaikan kepada masyarakat awam dan tenaga medis.
Dalam studi yang diterbitkan di JAMA Network Open, para peneliti menganalisis catatan medis dari 817 pasien di tujuh rumah sakit di lima negara bagian yang mengalami lonjakan pasien Covid-19 pertama kali pada Maret 2020 lalu.
Rata-rata pasien berusia 77 tahun dan 65 tahun, kesemuanya dinyatakan positif terinfeksi virus SARS-CoV-2
Baca juga: Sambil Tunggu Vaksin Covid-19, Kominfo Ingatkan Masyarakat Wajib Utamakan Protokol Kesehatan
Positif Covid-19 tanpa demam hanya delirium
Dari analisis tersebut, lebih dari seperempat, 28 persen didiagnosis mengigau, gejala umum keenam setelah demam, sesak napas, oksigen rendah, batuk dan lesu.
Akan tetapi, sepertiga pasien dengan delirium tidak menunjukkan gejala Covid-19 yang lebih khas, hanya delirium yang menjadi gejala Covid-19 mereka.
"Salah satu pesan utama kami, terutama saat ini, adalah benar-benar mencoba menyaring semua orang, terutama orang dewasa yang lebih tua,” kata Benjamin Helfand, rekan penulis studi di University of Massachusetts Medical School.
Helfand mengatakan orang yang datang dengan gejala atipikal atau tidak biasa ini harus diskrining dan diuji atau dites Covid-19.
Dalam studi tersebut, pasien dengan delirium cenderung berusia di atas 75 tahun, baik tinggal di panti jompo atau fasilitas tempat tinggal bantuan.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Sinovac Belum Diketahui Efektivitasnya, Ini Penjelasan Bio Farma
Atau di antara mereka pernah mengkonsumsi obat psikoaktif di masa lalu, memiliki penyakit parkinson dan memiliki masalah penglihatan atau pendengaran.
Seringkali, saat datang di IGD, kurang dari setengah pasien diskrining dan didiagnosis menggunakan Mteode Penilaian Kebingungan.
Alat ini dikembangkan oleh Vanderbilt's Ely dan Sharon Inouye dari Harvard Medical School, yang juga menjadi salah satu penulis studi ini.
Ely mengungkapkan apabila lebih banyak pasien yang didiagnosis dengan beberapa versi alat deteksi delirium, mungkin akan lebih banyak kasus Covid-19 yang dapat terdeteksi.
"Jika Anda tidak menggunakan alat delirium, Anda kehilangan sekitar 75 persen dari (pasien Covid-19 dengan gejala) delirium. Tidak diragukan lagi bahwa angka yang mereka berikan lebih rendah dari angka delirium yang sebenarnya. Ini akan lebih besar dari itu," kata Ely.
Kendati demikian, para peneliti mengakui keterbatasan tersebut, sebab sebagian besar IGD rumah sakit tidak secara rutin menyaring pasien dengan delirium sebagai gejala baru Covid-19.