UU Cipta Kerja
Nasir Djamil Sebut UU Cipta Kerja Bisa Jadi Bumerang: Berikan Karpet Merah Perusahaan Asing
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil memberikan pandangannya terkait lahirnya Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja.
Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil memberikan pandangannya terkait lahirnya Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang saat ini masih terus mendapat penolakan dari masyarakat.
Dilansir TribunWow.com, Nasir Djamil mengatakan bahwa UU Cipta Kerja bisa saja justru menjadi bumerang bagi ekonomi Indonesia.
Hal itu diungkapkannya dalam acara Apa Kabar Indonesia Malam 'tvOne', Rabu (7/10/2020).

Baca juga: Saksikan Debat Haris Azhar dengan Ketua Baleg, Najwa Shihab: Saya Tidak akan Mematikan Mic Anda
Nasir Djamil mengaku masih belum yakin dengan adanya klaim bahwa UU Cipta Kerja akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Menurutnya, bisa saja yang terjadi justru malah sebaliknya, akan memberikan dampak buruk besar bagi masyarakat, khususnya kaum buruh dan pekerja.
Dikatakannya bahwa tidak menutup kemungkinan para pengusaha atau perusahaan asing yang justru akan berpesta.
Karena seperti yang diketahui, perusahaan asing akan semakin mudah masuk ke Tanah Air.
Ditambah lagi seperti yang tertuang dalam pasal 111 RUU Cipta kerja bahwa perusahaan asing akan bebas bersyarat dari pajak deviden.
Dengan begitu, mereka dipastikan akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia.
"Ketika kemudian disebut-sebut bahwa rencana Omnibus Law UU Cipta Kerja ini akan menciptakan lapangan kerja, justru menurut saya sebaliknya, justru kalau tidak hati-hati, ini akan menjadi bumerang bagi ekonomi Indonesia," ujar Nasir Djamil.
"Alih-alih kita ingin menyediakan lapangan kerja, justru nanti kepentingan-kepentingan asing lebih dominan dan bahkan ada kecenderungan memberikan karpet merah kepada perusahaan-perusahaan asing," imbuhnya.
Baca juga: Kepada Ketua Baleg DPR soal UU Cipta Kerja, Najwa Shihab: Apakah Masih Peduli dengan Suara Publik?
Lebih lanjut, Nasir Djamil mengaku tidak menyalahkan aksi dari masyarakat yang berdemo menolak UU Cipta Kerja.
Dirinya menyadari bahwa masyarakat masih banyak yang awam terhadap aturan-aturan di UU Cipta Kerja.
Bahkan tidak dipungkiri, hal itu juga dialami oleh para anggota DPR, termasuk Nasir Djamil yang mengaku belum mengetahu secara detail poin-poinnya.
Ia mengaku tidak atau belum mendapatkan salinan RUU Cipta Kerja yang disahkan pada sidang paripurna DPR, Senin (5/10/2020).
"Terkait dengan unjuk rasa buruh tersebut itu menunjukkan bahwa ada komunikasi yang terputus, tidak ada komunikasi emansipatori yang dilakukan oleh pemerintah," kata Nasir Djamil.
"Tidak ada penjelasan yang oleh pemerintah."
"Kami sendiri memang di DPR itu tidak dapat salinan rancangan undang-undang yang disahkan di sidang paripurna tersebut," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 1.25
Haris Azhar Sebut Pengesahan UU Cipta Kerja Ada Kecurangan Proses Legislasi
Produk hukum Undang-undang Cipta Kerja yang baru disahkan pada Senin (5/10/2020), menuai banyak protes dan penolakan.
Masyarakat di Tanah Air, khususnya para kaum buruh dan pekerja tegas menolak lahirnya UU Cipta Kerja karena dinilai banyak merugikan pihaknya dan sebaliknya menguntungkan bagi perusahaan.
Dilansir TribunWow.com, Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar menilai wajar banyak penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

Baca juga: Deretan Video Viral Demo Tolak UU Cipta Kerja, #STMMelawan dan #MahasiswaBergerak Jadi Trending
Baca juga: Disebut Salah Pahami UU Cipta Kerja, KSPI Debat Balik Pengusaha: Komprador Ini Merampok Uang Pekerja
Alasannya menurutnya adalah karena terdapat kecurangan proses legislasi dalam pembahasan UU Cipta Kerja.
Haris Azhar mengatakan bahwa dalam pembahasan RUU Cipta Kerja hingga menjadi undang-undang tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik.
Hal itu diungkapannya dalam acara Mata Najwa, Rabu (7/10/2020).
"Sebetulnya ini kecurangan proses legislasi, kenapa sejak awal tidak memenuhi prinsip-prinsip tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan," ujar Haris Azhar.
"Kita punya aturan hukum aturan main soal itu, salah satunya soal harus berkonsultasi, data akademisnya harus ada," imbuhnya.
"Mengukur problem sosiologi, mengukur nilai yang harus digali, dan itu harus turun ke masyarakat dan itu harus ketemu dengan para ahli dan harus mengumbar, harus royal, harus membagi-bagikan naskahnya, idenya," jelasnya.
Dirinya lantas menilai bahwa UU Cipta Kerja dibuat secara tertutup dan terkesan justru dilakukan secara diam-diam.
Selain itu, tidak banyak melibatkan pihak-pihak yang harusnya diikutsertakan untuk bersama-sama membahas produk hukum tersebut.
"Yang terjadi adalah sampai beberapa bulan yang lalu sejak mulai diluncurkan ide bahwa akan ada Omnibus Law, yang muncul adalah ketertutupan," kata Haris Azhar.
Baca juga: Posting Foto Bareng Benny K Harman, AHY Puji Sikap Walkout Tolak UU Cipta Kerja: Macan Parlemen
Lebih lanjut, bukti pemerintah dan DPR tertutup dalam membahas RUU Cipta Kerja adalah tidak diketahuinya draft atau isi di dalamnya.
Menurutnya, bagaimana mungkin dalam pembahasan rancangan undang-undangan tidak dibagikan atau membuka draft materinya.
"Bahkan kami dapat informasi dari dalam tim pemerintah itu jika mereka membagi-bagikan draft, itu justru mereka dapat peringatan keras atau bahkan dapat hukuman," ungkapnya.
"Jadi artinya kalau hari ini orang masih belum tahu draft yang mana yang harus dibaca, ya karena memang dari awal ini sudah cacat, sudah bermasalah," tegas Haris Azhar.
"Itu menunjukkan bahwa pembahasan undang-undang ini mengandung banyak kecurangan, ketidakjujuran dan akhirnya menghasilkan sesuatu yang membahayakan," pungkasnya. (TribunWow/Elfan)