Pilkada Serentak 2020
Beberkan Fakta Peran Sosok 'Cukong' dalam Pilkada, Mahfud MD: Calon-calon Itu 92 Persen Dibiayai
Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan fakta tentang praktek kotor dalam pemilihan umum (pemilu).
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan fakta tentang praktek kotor dalam pemilihan umum (pemilu).
Ia menyebutkan praktek kecurangan semacam ini nantinya akan menimbulkan korupsi kebijakan, terutama di pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan kepada Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang ditayangkan TvOne, Sabtu (12/9/2020).

• Olla Ramlan hingga Pasha Ungu, Berikut Deretan Artis yang Gagal Maju Pilkada Serentak 2020
"Berangkat dari keprihatinan bahwa pilkada langsung itu telah menimbulkan masalah besar, maraknya korupsi yang semakin besar," papar Mahfud MD.
Ia menyinggung kesaksian politisi Ryaas Rasyid terkait penyelenggaraan pilkada di daerahnya.
Menurut Ryaas Rasyid, banyak warga yang menunggu adanya 'amplop' berisi sogokan uang untuk memilik calon tertentu.
"Pak Ryaas Rasyid kalau bercerita sebagai penggagas ekonomi daerah di era informasi, di daerah dia di Sumatera Selatan, kalau menjelang pilkada rakyat itu enggak tidur sampai pagi, lampunya hidup," ungkit Mahfud MD.
"Kenapa? Nunggu serangan fajar, nunggu amplop," jelasnya.
"Sehingga itu dianggap merusak rakyat," tambah Menko Polhukam.
Tidak hanya itu, ia mengungkapkan fakta adanya sosok pemilik modal alias cukong yang membiayai peserta pilkada tertentu.
Mahfud mengungkapkan praktek ini cukup lazim, bahkan hanya 8 persen calon kepala daerah yang menggunakan biaya sendiri.
"Belum lagi permainan percukongan, di mana calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong," ungkap Mahfud.
Praktek kotor ini menimbulkan dampak ketika calon tersebut terpilih menjadi kepala daerah.
• Soal Mahar Politik Miliaran Rupiah, Refly Harun Tantang Calon Pilkada: Siapa Berani Tunjuk Tangan?
Kepala daerah terpilih yang dibiayai pemodal akan merasa berkewajiban mengembalikan biaya pilkada.
"Sesudah terpilih itu melahirkan korupsi kebijakan," jelas Mahfud MD.
"Korupsi kebijakan itu lebih bahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung," tegas mantan Menteri Pertahanan ini.
Dalam tayangan yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyampaikan fakta yang sama.
"Faktanya dalam kajian KPK sebelumnya, ada sekitar 82 persen calon-calon kada (kepala daerah) didanai oleh sponsor, tidak didanai oleh pribadinya," ungkap Nurul Ghuffron.
"Sehingga itu menunjukkan akan ada aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah," terangnya.
Lihat videonya mulai menit 1:00
Bupati Jember Faida Ungkap Praktek Mahar Politik sampai Puluhan Miliar
Bupati Jember Faida menyampaikan pernyataan kontroversial terkait praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) saat pemilu.
Dilansir TribunWow.com, ia lalu mengklarifikasi pernyataan itu dalam tayangan Kompas Bisnis, Selasa (8/9/2020).
Diketahui sebelumnya Faida menyebut harus ada mahar politik senilai puluhan miliar rupiah jika ingin menarik rekomendasi dari partai politik.
• Bahas Polemik Puan di ILC, Effendi Gazali Hubungkan ke Pilkada Sumbar 2020, Singgung Prabowo-Jokowi
Faida lalu mengklarifikasi pernyataan yang menjadi viral tersebut.
Ia memaparkan pernyataan itu muncul saat ada pertanyaan terkait biaya pilkada.
"Video yang viral itu sebenarnya saya sedang menjadi narasumber webinar tentang kepemimpinan perempuan, bukan tentang mahar politik," jelas Faida.
"Pada saat dialog muncul pertanyaan bagaimana pembiayaan pilkada," ungkit dia.

Faida menjelaskan dirinya tidak pernah melancarkan praktek mahar politik tersebut untuk mendapat dukungan partai.
Ia memberi contoh, sikap itu ditunjukkannya saat Pilbup Jember 2015.
Menurut Faida, sikapnya tersebut sempat dicemooh orang lain.
Namun ia berhasil maju dalam pemilihan dengan dukungan partai tanpa embel-embel mahar.
"Sebenarnya jawaban saya berawal dari keyakinan saya waktu 2015 dulu saya bilang, 'Saya akan maju pilkada kalau ada partai politik yang mau memberikan rekomendasi tanpa mahar'," tuturnya.
• Kutip Pesan Jokowi, Tim Bajo Yakin Gibran Tak akan Curang di Pilkada Solo: Kita Coba Percaya Saja
"Orang bilang itu enggak mungkin. Saya bilang, 'Kalau enggak mungkin, ya enggak jadi maju'," kata Faida.
Namun ia semakin bersikap serius ingin mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
"Pada akhirnya saya mendapatkan partai politik yang memberikan rekomendasi tanpa mahar, yaitu Nasdem dan PDIP," ungkap Faida.
Sebelumnya Faida menyampaikan fakta tentang praktek mahar politik tersebut dalam sebuah webinar.
Ia menegaskan gajinya sebagai bupati tidak memungkinkan untuk membayar biaya politik senilai miliaran rupiah.
Selain itu, Faida menyebutkan dirinya menolak mengikuti praktek kotor semacam itu.
"Kalau dalam pilkada mencari rekomendasi saja perlu uang bermiliar-milyar sementara gajinya bupati semua orang tahu rata-rata Rp6 juta, kalau toh ada insentif dan lain-lain, dengan biaya puluhan miliar itu saya pasti sulit menjadi pemimpin yang tegak lurus," tegas Faida. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)