Breaking News:

Omnibus Law

Agenda Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2020, Komunitas Kaum Pekerja Desak Pembatalan RUU Cipta Kerja

Pada 1 Mei 2020, masyarakat Indonesia memperingati Hari Buruh Internasional, salah satu agenda yang disorot adalah penolakan RUU Cipta Kerja.

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
Tribunnews/JEPRIMA
Massa buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020). Tuntutan mereka meminta RUU Omnibus Law dibatalkan jika merugikan kelompok buruh mereka pun kecewa karena buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draftnya. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNWOW.COM - Tepat pada hari ini, Jumat (1/5/2020), masyarakat Indonesia memperingati Hari Buruh Internasional, satu di antara agenda yang disorot adalah penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja.

Dalam peringatan hari buruh, biasanya para pekerja akan menyuarakan sejumlah isu terkait kesejahteraan para buruh.

Untuk tahun 2020 ini, yang tengah ramai menjadi sorotan adalah mengenai RUU Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja) yang menimbulkan polemik.

DPR Berencana Sahkan RUU Berpolemik, Ahmad Hanafi: Seolah Ambil Kesempatan Mumpung Lagi Covid-19

Pasalnya, RUU tersebut dinilai kurang memperhatikan kesejahteraan buruh karena dirasa terlalu memihak pada kepentingan investor.

Dilansir Kompas.com, Jumat (1/5/2020), Sekjen Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Ikhsan Raharjo bahkan mengatakan bahwa RUU tersebut berpotensi menciptakan perbudakan modern.

"Semangat perbudakan modern itu sangat kuat terasa dalam draf yang kita semua bisa baca hari ini," ujar Ikhsan.

Oleh karenanya, sejumlah pihak telah mendesak pembatalan RUU tersebut karena dinilai akan berdampak buruk pada kesejahteraan para buruh.

Seperti  Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang menyatakan ketidaksetujuannya akan RUU tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum FBLP, Jumisih, yang mengatakan bahwa pihaknya gencar menggaungkan kampanye pembatalan RUU tersebut.

Ia menyebutkan bahwa kampanye pembatalan tersebut merupakan strategi agar pemerintah segera mengambil sikap.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elotos, yang turut mendesak pembatalan RUU Cipta Kerja.

"Sejak dari awal selain proses dan kemudian kontennya juga sangat bertentangan dengan konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar dan kemudian Pancasila," tutur Nining.

Ia menyoroti pemerintah yang masih melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Virus Corona.

Menurutnya, tindakan tersebut sangat tidak tepat dan meminta agar pemerintah lebih fokus menangani pandemi Covid-19 dahulu.

Para Buruh Rencanakan Gelar Aksi Demonstrasi, Polda Metro Jaya Minta untuk Patuhi Maklumat Kapolri

Berikut adalah sejumlah aturan dalam RUU Cipta Kerja yang menjadi bahan kontroversi diantara masyarakat.

Pertama, ketentuan pengupahan dalam RUU Cipta Kerja yang berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Draf tersebut dikhawatirkan dapat menjadi dasar untuk menghapuskan upah minimum kabupaten atau kota karena menghitung upah berdasarkan atas satuan kerja dan satuan waktu.

Kedua, ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan soal kontrak kerja yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

Ini berarti semua jenis pekerjaan baik mikro maupun makro, secara sah diperbolehkan untuk mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak.

Ketiga, penghapusan pasal-pasal yang mengatur outsourcing.

Hal itu berpotensi menyebabkan semua pekerjaan bisa menggunakan sistem outsourcing.

Padahal, aturan soal outsourcing yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan sudah memiliki aturan turunan yang lebih spesifik dalam Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2019.

Keempat, dihapuskannya sanksi pelanggaran pengupahan yang ada dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Penghapusan itu semakin memperbesar celah perusahaan untuk mempekerjakan buruh dengan upah di bawah minimum.

Kelima, jaminan kesehatan yang tak lagi diatur sebagai kewajiban pengusaha di draf RUU Cipta Kerja.

Aksi Gejayan Memanggil Tolak RUU Cipta Kerja

Desakan pembatalan RUU Cipta Kerja juga sempat digaungkan dalam aksi demo Gejayan Memanggil yang diselenggarakan pada Senin (9/3/2020).

Menurut mereka, Omnibus Law Cipta Kerja tersebut mengesampingkan kepentingan rakyat karena terlalu berpihak pada investor.

Dilansir Tribunjogja.com Senin (9/3/2020), Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) yang mendalangi diadakannya aksi Gejayan Memanggil menyerukan mengenai penolakan tersebut melalui humasnya, Kontra Tirano.

Hotman Paris Resah DPR Malah Bahas RUU KUHP di Tengah Virus Corona: Negara sedang Susah Begini

"Sudah waktunya masyarakat bersikap dan menggelar aksi menolak Omnibus Law (Cipta Kerja). Pemerintah hingga saat ini tak ada sosialisasi yang jelas dan rinci terkait RUU itu," tegas Kontra Tirano.

"Omnibus Law (Cipta Kerja) juga dibuat dengan melanggar hukum. Prosesnya tidak transparan, melibatkan satgas yang syarat kepentingan."

"Omnibus Law (Cipta Kerja) hanya akan membuat rakyat semakin miskin serta tergantung pada mekanisme kebijakan ekonomi yang memperdalam jurang kesenjangan sosial," imbuhnya.

Sementara dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (1/5/2020), beberapa peraturan yang menjadi kontroversi tersebut antara lain adalah Pasal 78 yang tertuang dalam omnibus law Bab IV soal Ketenagakerjaan.

Dalam pasal 78 nomor 1 poin b disebutkan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.

Sementara bila mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, pasal 78 Nomor 1 poin b disebutkan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

Selain itu ada juga Pasal 79 yang mengatur mengenai waktu istirahat dan cuti yang wajib diberikan oleh pengusaha.

Waktu istirahat diberikan minimal setengah jam setelah bekerja selama 4 jam berturut-turut dan tidak termasuk dalam jam kerja.

Selanjutnya pada poin b, disebutkan bahwa istirahat mingguan diberikan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu.

Pada peraturan lalu yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa dalam seminggu, jatah istirahat mingguan bisa 1 hari untuk 6 hari kerja atau 2 hari untuk 5 hari kerja.

Dibandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, peraturan dalam Omnibus Law Cipta Kerja justru mengalami bebrapa penyusutan.

Di dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pemerintah mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja agar tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, hari pertama dan kedua masa haid hingga melahirkan.

Namun di dalam Omnibus Law Cipta Kerja, hal tersebut dihilangkan.

Pemerintah juga berencana menghapus ketentuan mengenai hak pekerja, yang tertuang dalam Pasal 159 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Dimana dalam pasal tersebut diatur mengenai pekerja yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tidak semestinya, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial.

Untuk pengaturan cuti, tak ada perbedaan yang diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja dengan UU Nomor 13 Tahun 2003.

Dimana hak cuti diberikan untuk pekerja paling sedikit 12 hari setelah yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. (TribunWow.com/ Via)

Tags:
Hari BuruhHari Buruh InternasionalOmnibus Law
Rekomendasi untuk Anda
ANDA MUNGKIN MENYUKAI

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved