Omnibus Law
Ngabalin Soroti Pernyataan Refly Harun soal Omnibus Law: Tidak Bagus untuk Didengar oleh Publik
Ngabalin menanggapi pernyataan Refly Harun terkait Omnibus Law yang menurutnya tidak baik untuk disampaikan kepada publik.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
TRIBUNWOW.COM - Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin menyoroti perkataan pakar hukum tata negara Refly Harun yang mengibaratkan Omnibus Law sebagai monster kekuasaan.
Ngabalin merasa kalimat monster kekuasaan tidak cocok untuk disampaikan kepada publik.
Ia meluruskan bahwa hingga saat ini Omnibus Law masih dalam bentuk draf yang menjadi bahan diskusi.
• Mahfud MD Sebut Ada Salah Ketik di Omnibus Law Cipta Kerja, Bivitri Susanti: Saya Ketawa
Dikutip dari video unggahan kanal Youtube Talk Show tvOne, Senin (17/2/2020), awalnya Ngabalin menyampaikan apresiasinya terhadap Refly yang telah mengutarakan tanggapannya terkait Omnibus Law.
Namun ia juga mengingatkan Refly untuk tidak memilih kalimat yang tidak cocok disampaikan ke publik.
"Pertama terima kasih atas tanggapannya, dalam rangka memberikan pencerahan kepada publik, kepada masyarakat, kepada para penonton, tentu diksi monster itu tidak terlalu bagus untuk didengar oleh publik," paparnya.
Ngabalin meluruskan Omnibus Law tidak melanggar konsitusi sebab kekuasaan presiden adalah yang tertinggi di pemerintah.
"Karena ini kan semua masih dalam draf, dalam rancangan, jadi dalam poin ini saya ingin mengatakan bahwa sebetulnya kan kalau merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4 itu kan penjelasannya jelas, presiden memiliki kekuasaan tertinggi pemerintah," jelas Ngabalin.
"Semua undang-undang di bawah, perda-perda, peraturan gubernur, peraturan bupati, wali kota, itu kan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di atasnya."
"Jadi dalam posisi ini lah, maka dipandang untuk tidak perlu mengajukan judicial review, tetapi kalau ada peraturan-peraturan daerah yang bertentangan, maka pemerintah bisa melakukan apa yang disebut dengan peraturan pemerintah, kemudian melakukan Perpres dan lain-lain sebagainya," sambungnya.
Ngabalin menambahkan, hingga saat ini Omnibus Law masih dibahas sebagai draf dan didiskuskikan oleh DPR.
Ia juga mengatakan diskusi-diskusi terkait Omnibus Law melalui media televisi berguna untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait isu tersebut.
"Masyarakat atau para pemirsa, para pendengar, para penonton juga bisa tercerahkan dari dialog kita di malam ini," kata Ngabalin.
Omnibus Law sendiri merupakan metode untuk menggabungkan beberapa aturan menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Hal itu ditujukan untuk memangkas birokrasi yang berbelit dan meminimalisir terjadinya pungli, korupsi, tumpang tindih peraturan dan penyelewengan lainnya.
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam merancang Omnibus Law, yakni UU Perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
• Draft RUU Omnibus Law Terbaru Dipermasalahkan, Mahfud MD Duga Ada Kesalahan Ketik
Lihat videonya di bawah ini mulai menit ke-4.50:
Refly Harun: Menciptakan Monster Baru Kekuasaan
Pada acara yang sama, pakar hukum tata negara Refly Harun telah menyampaikan kekhawatirannya Omnibus Law justru rawan disalahgunakan oleh pemerintah pusat untuk memusatkan kekuasaan.
Penyalahgunaan tersebut berupa pemusatan kekuasaan di pemerintah pusat.
Dikutip dari video unggahan kanal Youtube Talk Show tvOne, Senin (17/2/2020), mulanya Refly mengatakan dirinya memiliki pandangan positif terhadap adanya Omnibus Law.

Sebab ia mengira hal tersebut nantinya akan semakin memperlancar birokrasi yang rumit.
"Bayangan saya adalah permudah lapangan kerja dengan menghilangkan pungli, dengan menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak penting," kata Refly.
Namun di sisi lain, Refly takut pemerintah pusat justru melakukan penyelewengan dalam pelaksanaan Omnibus Law.
"Kemudian mempermudah birokrasi yang berbelit, dan lain sebagainya, tetapi tentu bukan menciptakan monster baru kekuasaan," jelasnya.
"Misalnya pemerintah pusat diberikan kewenangan yang luar biasa, menurut saya."
"Jadi kewenangan membatalkan Perda melalui Peraturan Presiden itu kan bertabrakan dengan konstitusi, kewenangan membatalkan undang-undang dengan peraturan pemerintah juga tidak sesuai dengan konstitusi, lalu kemudian perspektifnya terlalu pemerintah pusat center (berpusat)."
"Jadi melihat segala sesuatunya itu dari kaca mata pemerintah pusat," sambungnya.
• Kritik Sistem Upah hingga PHK Kaum Buruh dalam Omnibus Law, Presiden OPSI: Bagaimana Tidak Pesimis?

Refly kini menduga Omnibus Law justru akan semakin banyak merugikan negara dibandingkan menguntungkan.
Ia khawatir Omnibus Law akan menjadikan kekuasaan pemerintah pusat semakin luas dan besar.
"Padahal yang saya bayangkan adalah, undang-undang ini undang-undang yang betul-betul memapas segala penyakit dari birkorasi, dan kemudian juga bisa membunuh wabah-wabah korupsi," kata Refly.
"Tapi yang terjadi sepertinya bukan begitu, justru penumpukan kekuasaan di pemerintah pusat, ini yang saya khawatirkan."
"Biasanya kan kalau orang yang berkuasa memerintah itu selalu berpikir bahwa dia harus diberikan kekuasaan yang besar, karena dia menjalakan amanah."
Refly menjelaskan bahwa semakin tingginya kekuasaan maka kemungkinan untuk terjadinya korupsi akan semakin besar.
"Tapi kita jangan lupa yang namanya power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup), jadi selalu harus ada pembatasan terhadap kekuasaan," ujarnya.
Refly menjelaskan kemungkinan terjadinya hal tersebut sudah dibatasi oleh sistem konstitusional Indonesia yang mendistribusikan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, yudikatif.
"Pembatasan itu adalah sistem konstitusional kita, sistem hukum kita sudah kita buat dalam sistem konstitusional, di mana misalnya kita membuat undang-undang, harus ada join power antara DPR dan presiden, lalu kemudian ada DPD apabila berkenaan dengan otonomi daerah," paparnya.
"Ini adalah sebuah bangunan sistem yang tidak saja berguna bagi hukum itu sendiri," lanjut Refly.
(TribunWow.com/Anung Malik)