Antisipasi Penurunan Permukaan Tanah yang Berakibat Banjir, Ini yang Dilakukan Pemkot Surabaya
Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana menyebutkan Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya regulasi penyedotan air tanah.
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUNWOW.COM - Penurunan permukaan tanah dapat mengakibatkan wilayah mudah tergenang air atau banjir, terutama bagi kota-kota di daerah pesisir.
Salah satu penyebab penurunan tanah adalah penyedotan air tanah secara masif yang membuat muncul rongga di bawah tanah.
Membahas hal tersebut, Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana menyebutkan Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya regulasi penyedotan air tanah.
• Pengamat Tata Kota Sebut Ada Kemungkinan Banjir Lebih Besar, Minta Jakarta dan Surabaya Siapkan Ini
Hal tersebut dibahas setelah Surabaya mengalami banjir pada Rabu (15/1/2020), tetapi segera surut dalam waktu tiga jam.
Awalnya, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyebutkan Surabaya juga mengalami penurunan tanah secara perlahan.
"Surabaya juga mengalami penurunan muka tanah tapi secara perlahan," kata Nirwono dalam tayangan Sapa Indonesia Malam di KompasTV, Kamis (16/1/2020).
Nirwono menyebutkan hal itu adalah fenomena yang wajar di kota-kota pesisir mana pun.
Selain itu, penyedotan air tanah besar-besaran dapat mempercepat penurunan permukaan tanah.
"Kecepatan (penurunan) itu tergantung pada beban. Kalau beban pembangunan terlalu besar, maka penurunannya juga akan semakin cepat. Apalagi kalau pengambilan air tanahnya juga besar-besaran," jelas Nirwono.
Menanggapi penjelasan Nirwono, Whisnu menyampaikan selama ini Pemkot Surabaya sudah menerapkan larangan penyedotan air tanah.
"Betul, sudah kita atur tidak boleh mengambil air tanah," kata Whisnu saat dihubungi dalam tayangan yang sama.
"Jadi hotel atau apapun kita larang mengambil air tanah," lanjutnya.
• PSI Soroti Pengadaan Toa Peringatan Banjir oleh Pemprov DKI: Seperti pada Era Perang Dunia II
Whisnu menyebutkan ada pemeriksaan secara rutin di tempat industri.
"Ada, kalau di tempat-tempat industri, hotel, itu akan kita cek terus," tegas Whisnu.
Meskipun demikian, menurut Nirwono penurunan tanah akan tetap terjadi.
"Bisa ditekan, tetapi tetap terjadi secara alami. Karena kota-kota pesisir itu tanahnya bukan tanah keras," kata Nirwono menanggapi.
Nirwono kemudian menjelaskan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk memperlambat penurunan permukaan tanah.
"Tetapi salah satu upaya memang adalah penghentian pengambilan air tanah, pengurangan beban pembangunan kota. Itu salah satu faktor untuk memperlambat," terangnya.
Nirwono melanjutkan bahwa akan rob akan berpengaruh pada kenaikan air laut.
"Artinya, di situ Surabaya mulai mengembangkan selain gorong-gorong besar, pompa juga harus menjadi andalan terutama di dekat pantai," jelas Nirwono.
Tata Kota
Terkait perubahan iklim secara ekstrem, termasuk curah hujan tinggi yang mengakibatkan banjir, Nirwono menegaskan harus dilakukan upaya pencegahan.
"Kalau kita mau belajar seperti itu, maka penataan kota kita harus berubah," kata Nirwono.
Ia kemudian mencontohkan keberadaan gorong-gorong di Jakarta yang hanya dianggap kurang untuk menampung jumlah air.
"Kalau kita bicara gorong-gorong, seperti di Jakarta, itu hanya 1,5 meter paling besar. Tapi dengan curah hujan sampai 300 milimeter per hari, harusnya bisa sampai 3 meter," jelas Nirwono.
"Bahkan kalau tidak mungkin di bagian kiri dan kanan badan jalan karena sempit, kita bisa mengambil badan jalan," lanjutnya.
Menurut Nirwono, badan jalan yang rata-rata selebar enam meter akan cukup untuk dibuat gorong-gorong.
Nantinya gorong-gorong tersebut juga dapat digunakan sebagai tempat cadangan air pada saat musim kemarau.
"Kita jangan lupa, hujan itu jangan dianggap sebagai musibah di mana konteksnya adalah air itu harus secepatnya dibuang ke laut. Karena kita akan menuai bencana lain," jelasnya.
"Kalau pada musim hujan banjir, maka jangan lupa pada musim kemarau kita punya ancaman krisis air bersih," kata Nirwono.
Nirwono memaparkan 85 persen kebutuhan air bersih Jakarta didatangkan dari luar Jakarta.
Hal ini menunjukkan kemampuan Jakarta untuk menyediakan air bersih tidak sebanding dengan kebutuhannya.
"Ini sebenarnya kalau kita lihat konteksnya banjir, justru kita mempunyai kesempatan untuk menabung atau menampung air hujan sebanyak-banyaknya," terangnya.
• Cerita Para Mantan Gubernur Jakarta Atasi Banjir, dari Nongkrong di Pintu Air sampai Menggusur Warga
Perbedaan Jakarta dan Surabaya
Ketika ditanya mengenai perbedaan penanganan banjir di Jakarta dan Surabaya, Nirwono menjawab luas kedua wilayah berbeda.
"Kalau kita bicara luas, terus kemudian konteks curah hujannya juga berpengaruh," jawab Nirwono.
Ia menyebutkan penanganan di Jakarta yang lebih luas akan lebih kompleks dan melibatkan banyak pihak.
"Jakarta dengan luas seperti sekarang ini, gubernur kita enggak punya wakil, misalnya. Jadi pembagian tugasnya harusnya lebih efektif lagi," katanya.
Selain itu, Nirwono menyebutkan faktor curah hujan di Jakarta yang hampir empat kali lipat dari curah hujan di Surabaya.
Ia menyebutkan ada kemungkinan curah hujan tersebut akan meningkat dari tahun ke tahun.
Nirwono menegaskan pencegahan banjir harus dilakukan sejak dini.
"Mulainya harus sekarang. Karena kita tidak bisa menunggu waktu apakah tahun depan curah hujannya turun," tegas Nirwono.
"Catatan dari BMKG dalam sepuluh tahun terakhir curah hujan kita justru semakin meningkat," katanya.
Menutup pembicaraan, Whisnu mengimbau agar warga Surabaya tetap waspada dan tidak membuang sampah sembarangan.
"Kita tetap harus waspada dan jangan buang sampah sembarangan. Kita jaga sama-sama lingkungan karena itu juga sangat membantu kita dalam menangani banjir," kata Whisnu.
Lihat videonya dari menit 12:00:
(TribunWow.com/Brigitta Winasis)