Terkini Nasional
Tanggapi Isu Penolakan terhadap FPI, Habib Ali Malah Beri Julukan 'Negara Hastag', Apa Maksudnya?
Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI), Habib Ali Alatas buka suara soal isu penolakan masyarakat terhadap perpanjangan izin FPI.
Penulis: Jayanti tri utami
Editor: Ananda Putri Octaviani
TRIBUNWOW.COM - Kuasa Hukum Front Pembela Islam (FPI), Habib Ali Alatas buka suara soal isu penolakan masyarakat terhadap perpanjangan izin FPI.
Terkait hal itu, Habib Ali Alatas pun menyebut kini Indonesia bukanlah negara hukum.
Ia menyebut Indonesia dengan julukan 'Negara hastag'.
Lantas, apa maksud ucapan Habib Ali Alatas itu?
• SKT Belum Jelas, Sekretaris FPI Munarman Ungkap Kejanggalan pada Tahun Ini: Mengapa pada Rezim Ini
• Refly Harun Minta Orang yang Pro dan Kontra dengan FPI saling Menghormati: Tidak Boleh Mukul
Dilansir TribunWow.com dari tayangan YouTube KOMPASTV, Senin (2/12/2019), mulanya Ali Alatas menyinggung soal perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) FPI.
"Jadi masalah sekarang ini adalah kalau kita mau bicara SKT tinggal masalah administrasi sebenarnya," kata Ali Alatas
"Karena secara posisi kalau kita bicara masalah ajaran, isi-isi materi dalam FPI itu kan keluarnya rekomendasi menteri agama," imbuhnya.
Menurut Ali Alatas, Kementerian Agama sudah sempat mendatangi FPI terkait urusan SKT tersebut.
"Memang yang punya kapasitas untuk menilai isinya FPI itu karena kita ormas (organisasi massa) islam adalah kementrian agama," ucap dia.
"Memang (menteri agama) sudah datang," sambungnya.
Terkait pernyataan itu, Presenter Aiman Witjaksono pun meminta Ali Alatas menanggapi penolakan masyarakat terhadap FPI.
"Dan sempat mengatakan bahwa lolos lah, tapi kemudian media sosial, masyarakat menyatakan penolakan terhadap FPI, bagaimana Anda menanggapi ini?," tanya Aiman.
Menurut Ali Alatas, kini Indonesia bukanlah negara hukum.
Ia pun memberi julukan 'Negara hastag' untuk Indonesia.
"Itu problem kita saat ini, jadi sekarang ini Indonesia kan negara hukum, cuma faktanya jadi negara hastag," ujar Habib Ali.
"Memang problem-nya bukan digunakan lagi ukuran hukum, tapi ukuran medsos," imbuhnya.

Aiman pun kembali menanyakan tanggapan Ali Alatas terkait hal tersebut.
"Anda tidak menilai itu adalah suara banyak masyarakat Indonesia, mungkin saja mayoritas?," tanya Aiman.
"Sekarang ukurannya bagaimana?," jawab Ali Alatas.
Menurut Ali Alatas, ada peran dari buzzer yang menyebabkan munculnya penolakan masyarakat melalui media sosial terhadap FPI.
"Sekarang kalau bicara bisnis buzzer, kita bukan bicara masalah pihak ini pihak itu, bisnis buzzer itu sendiri sebenarnya kan bisa itu untuk kemudian diproduksi," kata Ali Alatas.
Pegiat Media Sosial, Permadi Arya alias Abu Janda pun ikut angkat bicara terkait hal itu.
Menurutnya, trending media sosial itu tak seutuhnya menggambarkan kenyataan yang terjadi.
"Memang saya enggak pernah bilang trending itu merepresentasikan real apa yang terjadi di dunia nyata kok," ucap Abu Janda.
"Contohnya nih, lagi HTI dibubarkan itu kan ada sidang kan, sidang banding, itu hastag-nya menggema, trending di Indonesia adalah HTI menang, tapi ternyata di dunia nyata HTI kan kalah di pengadilan."
Abu Janda menjelaskan, trending media sosial hanyalah bentuk aspirasi dari netizen.
"Jadi trending tagar ini memang enggak mepresentasi di dunia nyata, itu lebih ke suara, inspirasi, aspirasi dari netizen," ucap dia.
Simak video berikut ini menit 6.00:
FPI Bisa Tetap Lanjut Tanpa SKT
Pakar Tata Hukum Negara, Refly Harun turut menanggapi soal Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) yang hingga kini belum ada kejelasan.
Refly Harun mengungkapkan kelemahan FPI jika tidak mendapatkan SKT.
Mulanya, Refly Harun mengatakan bahwa suka atau tidak suka dengan FPI, ormas itu akan tetap berjalan meski tanpa SKT.
"Padahal saya mengatakan misalnya kalau kita bicara tentang FPI ya, katakanlah misalnya ada komponen masyarakat yang tidak suka dengan FPI," ungkapnya.
Pasalnya, hak untuk berserikat seperti apa yang dilikakuan FPI merupakan hak semua warga negara.
"Tetapi kan kalau kita berbicara kebebasan konstitusional ya, yang namanya organisasi membentuk organisasi, berpendapat, menyampaikan pendapat dan sebagainya ya itu dijamin, enggak ada persoalan," jelas Pakar Tata Hukum Negara lulusan UGM Ini.
Terpenting bagi FPI adalah jangan sampai melakukan hal-hal yang melanggar hukum.
"Yang penting adalah dia tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum seperti misalnya, katakanlah memeras ya kan, kemudian apa," ujarnya.
• Refly Harun Nilai Bangsa Kini Irasional, Ungkap Hal-hal yang Buat Kuping Orang Panas, Termasuk FPI
• Bahas SKT FPI, Refly Harun Sebut Bangsa Sedang Sulit Berpikir Rasional, Singgung Nama-nama Berikut

Mendengar hal itu, Aiman sebagai pembawa acara sempat bertanya apakah khilafah dalam AD/ART FPI dapat mengganjal perpanjangan SKT ormas tersebut.
Refly menegaskan bahwa sebuah kelompok tidak memerlukan izin dari pemerintah untuk berserikat.
"Jadi begini kalau kita berbicara tentang eksistensi sebuah organisasi kita harus membedakan ya."
"Eksistensi organisasi itu tidak digantungkan pada izin, izin itu enggak ada," kata Refly Harun.
Namun, jika suatu organisasi berbadan hukum maka organisasi itu harus terdaftar dalam Kementerian Hukum dan HAM.
"Yang ada adalah kalau dia berbadan hukum, dia daftarnya ke Kementerian Hukum dan HAM."
"Kalau dia tidak berbadan hukum, dia mendaftarnya ke Kementerian Dalam Negeri," ungkapnya.
Tanpa SKT, sebuah organisasi bisa berjalan.
"Tapi kalau dia misalnya tidak ada SKT, Surat Keterangan Terdaftar dia bisa jalan, tetap saja jalan."
"Yang penting adalah dia tidak melanggar hukum," jelasnya.
Kendati demikian, ada kelemahan jika suatu organisasi tidak terdaftar dalam pemerintah.
Organisasi itu tidak mendapat dana dari pemerintah.
"Kekurangannya adalah kalau misalnya ada program bantuan, dia enggak dapat," kata dia.
(TribunWow.com/Jayanti Tri Utami/Mariah Gipty)