Breaking News:

Buzzer Medsos

Bingung soal Ribut Buzzer, Menkominfo di ILC Ajak Semua Jadi Buzzer Pemerintah: Kompak Kenapa Sih

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara meminta agar semua pihak tak ribut mempersoalkan buzzer yang kini tengah ramai dibahas.

Penulis: Roifah Dzatu Azma
Editor: Tiffany Marantika Dewi
Capture Indonesia Lawyers Club
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara meminta agar semua pihak tak ribut mempersoalkan buzzer yang kini tengah ramai dibahas. 

TRIBUNWOW.COM - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara meminta agar semua pihak tak ribut mempersoalkan buzzer yang kini tengah ramai dibahas.

Dikutip TribunWow.com, hal ini terjadi saat keduanya menjadi narasumber program Indonesia Lawyers Club (ILC) yang diunggah dalam saluran YouTube Talk Show tvOne, Selasa (8/10/2019).

Saat itu ILC mengambil tajuk acara berjudul "Siapa yang Bermain Buzzer?".

Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin naik pitam saat membahas mengenai tudingan adanya buzzer yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Indonesia Lawyers Club dengan tema 'Siapa yang Bermain Buzzer?'. (Capture Indonesia Lawyers Club)

Sebut Semua Buzzer Muncul di ILC, Teddy Gusnaidi: Kita Membicarakan Diri Sendiri

Rudiantara yang tak ingin ambil pusing, ia justru meminta agar semua pihak bisa menjadi buzzer pemerintah.

Ia mengajak untuk menjadi buzzer dengan mengangkat isu seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) atau isu kericuhan Papua.

"Dari pada ribut-ribut buzzer sana buzzer sini, kenapa enggak kompak kita jadi buzzer pemerintah, terhadap isu karhutla, kenapa kita tidak kompak untuk isu Papua," ujar Rudiantara di antara narasumber lainnya.

Jika pun menjadi buzzer, ia meminta agar semua pihak untuk lebih baik membahas isu yang di luar negeri.

"Kalau dibilang buzzer, ya udah kita sama-sama jadi buzzer untuk membahas isu yang di luar, bukan di dalam negeri karena kita mau kompetisi di luar negeri yang di dalam malah ributin buzzer gitu lho," sebutnya.

Menurutnya lucu jika terlalu heboh membahas buzzer sementara jika mereka terbukti bersalah bisa meminta agar akun ditutup.

"Agak lucu juga, salah sasaran menurut saya. Kami tidak lihat itu buzzer."

"Selama kalau melanggar undang-undang pasal 27, apakah pasal 29, ya itu bisa kita bisa lakukan tindakan minta take down akunnya ke platform. Dan itu yang harusnya kita minta sama-sama dari pada ngebahass satu sama lain mending ngebahas yang di luar, sekali-kali kompak kenapa sih," pintanya.

Sebut Muncul Buzzer karena Prestasi Pemimpin Rendah, Dahnil: Jangan Khawatir jika Punya Prestasi

Sebelumnya, ia mengaku bingung dengan penyebutan buzzer yang tak ada di regulasi pemerintahan.

"Saya juga agak bingung sebetulnya karena saya juga tidak menemukan topik buzzer di regulasi. Jadi enggak ada. Karena kalau kita lihat mau buzzer, influencer, endorser, itu sebetulnya sama saja, dan tidak dilarang, tidak ada larangan," sebutnya.

"Yang dilarang adalah kalau dia menyebarkan konten yang dilarang oleh undang-undang ITE. Kalau saya sih lihatnya kontenya," kata Rudiantara.

Mengenai keadaan Indonesia saat ini, dirinya melihat jika mengarah ke dark sosial media.

Dark sosial media merupakan istilah untuk menggambarkan penggunaan media sosial secara serampangan, dikutip dari kominfo.go.id.

"Kalau kita lihat kita ini cenderung mengarahnya kepada dark sosial media, saat ini pemerintah sendiri sedang (berusaha) dengan Facebook."

"Karena itu bisa dilakukan verifikasi dengan email, kami menentang, kami meminta dengan nomor ponsel, karena di Indonesia prabayar sudah registrasi," katanya.

Ia berpendapat jika saat ini semua orang tebuka dengan identitasnya maka tidak ada buzzer maupun anonimus.

Lihat videonya 3.58:

Apa Itu Buzzer?

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (4/9/2019), pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.

Buzzer tak memiliki identitas dan sekelompok orang yang tak jelas.

"Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/9/2019).

Buzzer sendiri bebas lantaran tak memiliki konsekuensi hukum.

"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.

Beberkan Adanya Penelitian soal Buzzer, Budi Setyarso Sebut Semua Ada Industrinya

Sedangkan jika ada nama akun yang jelas, maka disebut sebagai influencer.

"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.

Namun influencer memiliki kosekuensi sehingga tak bisa sembarangan mengunggah informasi.

"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.

Sedangkan dalam dampak buzzer membuat dampak di masyarakat.

"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.

"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.

Vasco Ruseimy Sebut Buzzer Oposisi Kini Takut Sampaikan Kritik: Soalnya Banyak yang Dipenjara 

Ia memberikan contoh, jika ada satu orang yang selama ini mempercayai satu kelompok, maka akan akan terus mempercayai apapun postingan kelompok tersebut.

"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.

"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia. (TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)

Sumber: TribunWow.com
Tags:
RudiantaraIndonesia Lawyers Club (ILC)Buzzer
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved