Pilpres 2019
Ijtima Ulama 3 Minta KPU Diskualifikasi Jokowi-Maruf dan Sebut Ada Kecurangan di Pemilu 2019
Ijtima Ulama 3 meminta KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi paslon nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin.
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
Rekaman pidato Rizieq Shihab
Di acara itu, mereka mendengarkan laporan dari "jaringan di daerah" tentang kemungkinan adanya kecurangan di Pemilu 2019. Peserta juga mendengarkan rekaman pidato Rizieq Shihab yang diberi judul Maklumat Mekkah.
Panitia juga mengaku mengundang pakar hukum, IT serta ahli pidana untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan terbaru terkait Pilpres 2019.
"Kita akan dengarkan juga paparan dari kalangan agama, kalangan ulama tentang hal-hal yang terjadi di Pilpres 2019, terutama masalah kecurangan," kata Slamet.
Dari paparan dari sisi hukum dan agama inilah, menurut Slamet, peserta Ijtima Ulama akan membahasnya sebelum akhirnya mengeluarkan rekomendasi di akhir acara.
Dimintai tanggapan atas pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang mempertanyakan niat atau tujuan Ijtima Ulama 3 terkait penyelenggaraan Pemilu 2019, Slamet mengatakan "apa salahnya kita mengevaluasi (pemilu 2019)."
Dia kemudian mengatakan bahwa ijtima ulama 1 dan 2 juga tidak terlepas dari hajatan politik Pemilu 2019. Dia menekankan, sikap politik dalam Ijtima Ulama 3 merupakan bentuk kebebasan berkumpul dan berpendapat yang dilindungi konstitusi.
"Yang penting tidak melanggar konsitusi yang ada," kata Slamet.
Ditanya wartawan apakah para ulama yang tergabung dalam Ijtima Ulama ini 'ditunggangi' partai-partai politik pendukung Prabowo, Slamet mengatakan: "Ini kepentingan untuk bangsa dan agama."
Keberadaan acara Ijtima (kesepakatan atau konsensus) yang sudah berlangsung tiga kali, tidak terlepas dari gerakan politik yang melibatkan massa bernama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pada 2016.
• Tuding Zuklifli Hasan Bisiki Jokowi Minta Jatah Kursi Pimpinan MPR, TKN: Saya Berani Tanggung Jawab
Pengamat internasional puji KPU
Gerakan politik yang melibatkan massa ini didirikan saat Pilkada Jakarta 2016, ketika calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituduh melecehkan Alquran terkait pernyataannya.
Saat itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang isinya bahwa Ahok menghina Alquran atau menghina ulama.
Sejumlah ormas Islam, di antaranya Front Pembela Islam (FPI), kemudian mendukung GNPF yang terus menyuarakan agar Ahok diadili.
Dalam perkembangannya, GNPF MUI berubah menjadi GNPF ulama setahun kemudian. Dan menjelang pemilu 2019, gerakan politik ini kemudian menyatakan secara terbuka mendukung capres Prabowo Subianto, dengan menyodorkan cawapres alternatif.