Breaking News:

Bukan Rupiah, Warga Magelang Gunakan Mata Uang Ini sebagai Alat Tukar di Pasar Kebon Watu Gede

Warga di Pasar Kebon Watu Gede di Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang menggunakan mata uang khusus sebagai alat tukar.

Editor: Lailatun Niqmah
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG
Tampilan uang NKRI baru di Gedung Bank Indonesia, Senin (19/12/2016). Bank Indonesia meluncurkan uang NKRI baru dengan menampilkan 12 pahlawan nasional, Adapun uang desain baru yang diluncurkan hari ini mencakup tujuh pecahan uang rupiah kertas dan empat pecahan uang rupiah logam. 

Atapnya menggunakan rumbia dari daun kelapa yang dianyam.

Para penjualnya pun berdandan ala-ala masyarakat jawa jaman jadul. Pria memakai blangkon di kepala, dan pakaian tradisional seperti peranakan.

Penjual yang wanita mengenakan batik dan sanggul di kepala. Para pedagang akan menyambut ramah pengunjung, Masyarakat dapat membeli makanan menggunakan blongkeng dan duduk menikmatinya di bangku-bangku bambu atau tethekan di dalam pasar.

Isak Tangis Keluarga Aa Jimmy Pecah hingga Epy Kusnandar Peluk sang Anak di Rumah Duka

q
Suasana Pasar Kebon Watu Gede di Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Minggu (23/12/2018). (Tribunjogja.com | Rendika Ferri K)

Ari Fianto, Pengelola Pasar Kebon Watu Gede, menceritakan, awal mula pasar ini dibangun dari ide dan gagasan para pemuda Karangtaruna Desa Jetak.

Mereka ingin membuat suatu pasar tradisional yang khas dan berbeda dari pasar yang lain. Pasar ini berkonsep seperti pasar jadul yang akan menarik minat wisatawan untuk datang.

"Awalnya dari karangtaruna Desa Jetak, biar ada kegiatan mencari kegiatan yang orientasinya mensejahterakan masyarakat sekitar. Lalu kami mencari ide, dan ketemulah pasar kebon watu gede ini," ujar Ari.

Dikatakannya, di pasar ini pengunjung ditawarkan beragam makanan dan minuman tradisional. Ada juga produk kerajinan dan mainan anak jaman dulu.

Semuanya dibuat oleh masyarakat lokal di Desa Jetak, termasuk besek atau wadah dari bambu, juga dibuat oleh masyarakat di sini, sebagai wadah pengganti plastik.

"Besek ini dipakai untuk mengganti bungkus plastik. Kami ingin membuat pasar yang juga ramah lingkungan. Kita ingin berkampanye pengurangan penggunaan plastik, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap kelestarian lingkungan," kata Ari.

Pasar yang berdiri sejak Februari 2018 ini, hanya diadakan saat hari Minggu Legi atau Pahing. Hal ini bertujuan sebagai kearifan lokal dengan menggunakan pasaran Jawa sebagai jadwal pasar.

Selain itu untuk menghormati kegiatan masyarakat di sekitar pasar, seperti pengajian ataupun kerja bakti warga desa.

Selama sembilan bulan Pasar ini berjalan, dampaknya begitu terasa, baik dari segi pariwisata yang semakin berkembang, dan ekonomi warga sekitar yang juga meningkat.

Kurang lebih ada 60 pedagang yang ada di Pasar Kebon Watu Gede, dan semuanya berasal dari masyarakat lokal. Belum lagi, dampak ke warung-warung di sekitar pasar, dan pendapatan desa dari parkir kendaraan.

Promosi wisata dilakukan menggunakan sosial media. Pengelola pasar berjejaring dengan para penggiat wisata yang aktif di media sosial untuk mempromosikan pasar Kebon Watu Gede.

Promosi pun cukup berhasil, sampai pasar ini dijuluki pasar digital karena sangat dikenal di dunia maya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Tags:
Rupiahuang kunoMagelang
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved