Kabar Tokoh
Terkait Survey P3M yang Menyatakan 41 Masjid Terpapar Radikalisme, Guntur Romli Singgung Survey Lain
Guntur Romli singgung tiga lembaga survey lain, terkait survey P3M yang menyebutkan ada 41 Masjid yang Terpapar Radikalisme.
Penulis: Nila Irdayatun Naziha
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Guntur Romli menyebutkan bahwa hasil survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) bukan suatu hal yang mengejutkan.
Diketahui, P3M mengungkapkan hasil survey nya dengan menyebut sebanyak 41 dari 100 masjid di lingkungan kantor pemerintah di Jakarta, terpapar radikalisme.
Dilansir TribunWow dari Indonesia Lawyer Club, Selasa (27/11/2018), Guntur Romli mengungkapkan bahwa beberapa survey lain juga menyebutkan bahwa ada indikasi Indonesia menganut paham radikalisme.
Guntur lantas memberikan hasil kajiannya yang bersumber dari hasil beberapa lembaga survey lain, di luar P3M.
"Dapat disimpulkan, ada persoalan yang darurat, radikalisme di negeri ini" ungkap Guntur.
• Di Balik Layar ILC, Sudjiwo Tejo dan Ali Ngabalin Perdebatkan Masalah Empek-Empek
"Pertama adalah survey dari Alfara Research, dari 1800 responden mahasiswa di 25 Universitas, 23 persen menyatakan siap menjalankan atau menegakkan khilafah, 17 persen setuju dengan khilafah, 23 persen mendukung ISIS," jelas Guntur.
"Kemudian survey dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Syarif Hidayatullah Jakarta, dari responden 1522 siswa, dan 377 mahasiswa di 34 provinsi, temuannya 58 persen berpaham radikal, kemudian 37 setuju dengan jihad terhadap non muslim, kemudian semuanya menerima informasi itu melalui internet," tambahnya.
"Kemudian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga melakukan beberapa survey berkali-kali dan ini yang ditanggal 30 Oktober 2018, dengan responden 1800 mahasiswa di 9 provinsi bahwa ada peningkatan intoleransi di negeri ini," jelas Guntur.
Menurut penuturan Guntur, beberapa lembaga survey, membedakan antara Intoleransi dengan Radikalisme.
"Intoleransi itu sikap tidak terima dengan kelompok yang lain, dengan kata lain tidak mau toleransi, sedangkan Radikal itu sudah mendukung kelompok-kelompok seperti khilafah, seperti ISIS, atau terlibat dalam kegiatan kekerasan seperti Jihad dalam arti kekerasan," jelasnya.
• Ekspresi Tengku Zulkarnain saat Dibilang Radikal Menengah oleh Ketua P3M Agus Muhammad di ILC
"Di situ dapat disimpulkan, ada persoalan serius terhadap radikalisme di negeri ini," terang Guntur.
"Kemudian hasil survey ini yang lebih penting kita perlu membaca semuanya berasal dari lembaga independen, jadi jangan sampai di framming ini merupakan kerjaan pemerintah, apalagi BIN atau Kemenag dianggap mengawasi masjid-masjid, karena ini adalah survey dari lembaga independen, jadi jangan kemudian memakai framming, negraa ketakutan jadi kemudian melakukan pengawasan terhadap masjid-masjid, itu tidak benar," jelasnya.
"Oleh karena itu kita melihat, da dua persoalan di bangsa ini bang, pertama masalah intoleransi dan yang kedua adalah masalah korupsi, dan kedua masalah ini bergelindan dalam soal politisasi agama," terangnya.
Kemudian Guntur juga menjelaskan, alasan mengapa wacana radikalisme semakin lama semakin menguat dan mengapa seseorang bisa menjadi radikal.
• Soal Hasil Survei 41 Masjid Terpapar Radikalisme di ILC, Ustaz Haikal Hassan: Studi Belum Matang
Menurut penelitian dari Wahid Foundation, bahwa seseorang yang ingin menjadi radikal karena ia merasa terancam.
Yang kedua lantaran ia banyak mengkonsumsi pesan-pesan kebencian.
Pesan-pesan kebencian tersebut datang dari media sosial atau khutbah-khutbah.
Dan yang ketiga adalah pemahaman yang salah terhadap jihad, bahwa jihad hanya kekerasan dan merupakan tindakan kekerasan bagi agama yang lain.
Hal tersebut merupakan pemahaman yang keliru terhadap jihad.
Namun yang paling berbahaya adalah, mengaitkan isu radikalisme dengan pengalaman negara lain.
Hal tersebut diungkapkan oleh Guntur dengan melihat penelitian dari Muhammad Najih Alramdoni yang merupakan Sekjen Ikatan Alumni Syam di Suriah, yang mengatakan ada kemiripan antara radikalisme di Indonesia dengan Suriah.
Yang pertama tentang politisasi agama yang dalam hal ini merupakan politisasi islam, dan jantung dari politisasi adalah dengan adanya politisasi masjid.
• Potong Omongan Eggi Sudjana di ILC, Ali Ngabalin Ditegur Karni Ilyas: Jangan Urusan Itu
Kedua adalah menyerang pemerintah yang sah dan menggunakan propaganda penuh dengan keobohongan.
Selanjutnya adalah dengan menjauhkan ummat dengan Ulamanya.
Dan yang terakhir adalah meruntuhkan sistem negara dan menggantikan dengan khilafah.
Sebelumnya, Agus Muhammad, selaku Ketua DP P3M, menjelaskan proses studi sehingga menghasilkan data 41 dari 100 masjid pemerintah di Jakarta, terpapar radikalisme.
Kriteria objek yakni yang pertama berada di Jakarta, kemudian Masjid bukan mushola, yang ketiga ada kegiatan tambahan di luar sholat berjamaah.
Agus menuturkan dalam menstudikan 100 masjid, relawan sebanyak 100 diturunkan untuk merekam 4 kali khotbah Jum'at berturut turut dalam satu bulan.
Dalam menentukan relawan, Agus mengatakan pihaknya menentukan dengan rekomendasi dari orang-orang terpercaya.
"Tugas relawan, merekam khotbah jumat, yang kedua merekam videonya, untuk memastikan suara di audio dan videonya sama, dan yang ketiga adalah mengambil bahan gambar bacaan yang ada disana," ujar Agus.
"Nah hasil rekaman di analisis oleh 5 orang yang mempelajari"
• Di ILC, Sudjiwo Tedjo Beri Sindiran untuk Timnas dan Wartawan yang Disambut Tepuk Tangan
Kemudian dalam menganalisis, Agus menuturkan ada 5 hal kriteria menentukan masjid teridentifikasi radikal atau tidak.
"Pertama adalah sikap terhadap konstitusi nasional, NKRI, Pancasila, UUD 45, kemudian Bhineka Tunggal Ika."
"Kedua, sikap terhadap pemimpin non muslim, karena kita sebagai negara yang sudah menyepakati, maka semua orang punya hak yang sama untuk menjadi pemimpin."
"Kita ingin tahu sikap mereka terhadap agama yang lain, Yang keempat, kita ingin tahu sikap mereka terhadap kelompok minoritas, suku, adat, ya secara umum jumlah itu sangat minoritas."
"Yang terakhir sikap mereka terhadap pemimpin perempuan seperti apa. Nah jika sikap mereka negatif, kita menganggap mereka sebagai radikal. Kalau semakin negatif sikapnya kita melihat itu semakin tinggi."
Ada tiga level dalam menganalisis tingkat radikal yang dijelaskan Agus, yakni misalkan dalam pemimpin non muslim.
"Kalau level radikal rendah, sikap mereka tidak ikhlas non muslim menjadi pemimpin. Menurut saya ada potensi menjadi radikal."
"Level sedang, dia sudah setuju untuk tidak boleh sama sekali (non muslim menjadi pemimpin). Untuk yang radikal tinggi, itu sudah memprovokasi," tutur Agus.
(TribunWow.com/Nila Irdayatun Naziha)