Bom di Surabaya
Azyumardi Azra Kritik soal Revisi UU Antiterorisme, Tenaga Ahli DPR RI: Jangan Cari Kambing Hitam
Harja Saputra yang mengaku sebagai tenaga ahli di DPR RI menjawab sindiran Azyumardi Azra yang menilai anggota DPR RI lambat bahas RUU Antiterorisme
Penulis: Woro Seto
Editor: Woro Seto
Karena ini merupakan sebuah payung hukum yang penting bagi aparat, bagi polri untuk bisa menindak tegas dalam pencegahan maupun dalam melakukan tindakan.
Kalau nantinya di Bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perpu", ujar Jokowi.
Sementara itu, Ketua DPR, Bambang Soesatyo mengaku RUU tersebut tinggal disahkan oleh DPR setelah dibahas Panitia Kerja (Panja).
Bambang justru mendesak pemerintah untuk menyelesaikan RUU itu.
• Jalanan di Sekitar Polrestabes Surabaya Macet, Tri Rismaharini Turun Langsung Mengatur Lalu Lintas
Bambang Soesatyo menerangkan sebenarnya revisi tersebut sudah hampir selesai, namun pemerintah yang masih menunda karena belum ada kesepakatan terkait definisi terorisme.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i mengungkapkan bahwa dalam pembahasan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah terkait definisi terorisme.
"Kemarin kan seharusnya masa sidang ini tapi sesuatu yang baru yang kita inginkan dalam UU ini kan ada definisi. Nanti akan dibahas di masa sidang depan," ujar Syafi'i saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/4/2018) yang dilansir dari Kompas.com.
Syafi'i mengatakan, dalam Pasal 1 angka 1 draf RUU Antiterorisme, DPR menginginkan definisi terorisme memasukkan unsur politik.
Artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika melakukan tindakan kejahatan yang merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang massif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Selain itu, pelaku juga harus dibuktikan memiliki atau terlibat dalam suatu jaringan kelompok teroris. Sementara, kata Syafi'i, pihak pemerintah memandang tak perlu ada unsur politik dalam definisi terorisme.
"Redaksional yang mereka (pemerintah) sajikan itu hanya untuk tindak pidana biasa, mereka yang melakukan kejahatan dengan maksud menimbulkam ketakutan yang massif, korban yang massal dan merusak obyek vital yang strategis. Ini kan tindak pidana biasa," kata Syafi'i.
Harusnya dengan motif politik yang bisa mengganggu keamanan negara misalnya. Nah itu baru bisa disebut teroris. Mereka enggak sepakat dengan itu," ucapnya.
Syafi'i menuturkan pihaknya tak sepakat jika tak ada unsur politik dalam definisi terorisme.
Pasalnya, jika tak ada definisi yang ketat terkait terorisme, ia khawatir penegak hukum akan mudah untuk mengkategorikan tindak pidana biasa sebagai kejahatan terorisme.
"Saya melihat ada semacam keinginan perluasan untuk menetapkan siapa saja bisa dianggap teroris. Ada gerakan apa di balik ini semua, sehingga pemerintah ingin banyak orang bisa dituduh teroris," tuturnya. (TribunWow.com/Woro Seto)
• Teror Bom di Surabaya, Mahfud MD: Pernyataan Busyro Itu Bukan Konteks Sekarang