Inilah 12 Tanggapan Sri Mulyani Soal Utang Indonesia
Menteri Keuangan, Sri Mulyani angkat bicara soal kondisi utang Indonesia akhir-akhir ini getol dibahas di media.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Fachri Sakti Nugroho
Kenaikan kekayaan negara tersebut, Menkeu meminta harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang.
Ketiga, Menkeu menilai, mereka yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur kurang memahami dua hal. Alasan kesatu, Menlu menyampaikan bahwa belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
“Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya,” ungkap Menkeu.
Alasan kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, lanjut Menkeu, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.
Oleh karena itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menilai, pernyataan bahwa ‘tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah.
“Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini, dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita,” terang Menkeu.
Keempat, selain melihat neraca, menurut Menkeu, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Ia menyebutkan, bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto, defisit APBN dan posisi utang Pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.
Ia menunjukkan, defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp167 triliun. Demikian juga tahun 2017, tambah Menkeu, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Ia juga menambahkan bahwa tahun 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB.
“Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan,” sambung Menkeu.
Kelima, demikian juga dengan kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer. Menurut Menkeu, Pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers, telah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable.
Buktinya, lanjut Menkeu, pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp125,6 triliun, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp121,5 triliun.
Untuk tahun 2018, menurut Menkeu, Pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun. Ia juga menyampaikan bahwa tahun 2019 dan ke depan pemerintah akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus.
Keenam, kebijakan utang dalam APBN, tegas Menkeu Sri Mulyani Indrawati, juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. “Jadi utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja Pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Menurut Menkeu, jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahun 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016.
Secara jumlah total pada 2018, menurut Menkeu, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713. Bahkan investor individual ini, tambah Menkeu, ada yang berusia di bawah 25 tahun (sekitar 3 persen), hingga di atas 55 tahun. Ia juga menambahkan bahwa Ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13-16 persen.