7 Fakta Kesaksian Amelia Melihat Jenderal Ahmad Yani Diculik dan Ditemukan Tewas di Lubang Buaya
Meski sudah wafat puluhan tahun yang lalu, jejak kenangan Achmad Yani sukar dilupakan.
Penulis: Fachri Sakti Nugroho
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Meski sudah wafat puluhan tahun yang lalu, jejak kenangan Achmad Yani sukar dilupakan.
Bukan hanya karena sosoknya yang heroik, namun kematiannya yang tragis juga menjadi pengingat bagi kita akan pentingnya sebuah nyawa dalam elan perjuangan.
Kisah kematian Achmad Yani juga dituturkan dengan apik oleh putrinya, Amelia Yani.
Dalam buku biografinya, 'Sepenggal Cerita dari Dusun Bawuk' Amelia menuliskan cerita kesaksiannya atas kematian sang jenderal.
1. Tak terlupakan
Melansir dari Intisari, Amelia tak pernah bisa melupakan kepedihan yang dialaminya pada 1 Oktober 1965 silam.
Peristiwa yang berlangsung begitu cepat itu terjadi saat dini hari.
Tak lebih dari setengah jam, apa yang disaksikan Amelia saat itu menjadi sebuah titik nadir kehidupannya.
Saat itu sekelompok tentara mendatangi rumah Achmad Yani yang beralamatkan di Jalan Lembang Nomor D 58, Jakarta Pusat.
"Aku melihat sesosok tubuh sedang diseret-seret tanpa belas kasihan.
Yang diseret adalah kedua kakinya; tangan, badan, dan kepala dibiarkan terseret-seret di lantai, berlumuran darah.
Jantungku bagaikan terloncat keluar.
Bapak! Itu Bapak, kata hatiku.
Ya Allah, itu Bapak," tertulis dalam biografi Amelia.
2. Tiga hari kemudian
Amelia tak begitu sadar dengan apa yang terjadi dini hari itu.
Bunyi berondongan pelurulah yang membangunkan tidurnya yang lelap.
Hingga akhirnya ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebuah penyiksaan yang tak manusiawi terhadap ayahnya.
Pasukan itu kemudian pergi membawa ayahnya entah kemana.
Dalam hatinya, Amelia masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?
Tiga hari kemudian datanglah berita, ayahnya telah tewas.
Jasadnya ditemukan di sebuah sumur tua di kawasan Lubang Buaya.
Di sana ditemukan juga lima jasad para stafnya di Markas Besar Angkatan Darat; serta satu jasad seorang perwira pertama, Pierre Tendean, ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution.
3. Tak tahu siapa pelakunya
Hingga kini, Amelia mengaku tidak tahu siapa sebenarnya yang menculik ayahnya malam itu.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat hingga detailnya luput dari rekaman ingatannya.
Pemerintah pun tak pernah memberikan keterangan jelas mengenai insiden tersebut.
“Penjelasan dari pemerintah juga tidak ada,” tutur Amelia yang kini tinggal di Yogyakarta.
Semua terjadi begitu cepat dan kehidupan keluarganya berubah drastis sejak saat itu.
4. Kehidupan keluarga Jenderal paska 1 Oktober
Tak mudah melupakan peristiwa G30S di benak pikiran rakyat Indonesia.
Terlebih mereka yang sanak keluarganya menjadi korban.
Tak terkecuali Amelia, yang harus kehilangan ayah tercintanya.
Saat kejadian itu berlangsung, Amelia Yani baru berusia 16 tahun.
Ia melalui hari-hari yang berat dan penuh dengan tekanan psikologis pasca 1 Oktober.
Tak hanya karena menyaksikan dengan mata kepala bagaimana ayahnya disiksa.
Ia bahkan selalu terniang dan merasakan hawa kematian selama ia tinggal di rumah tempat insiden tersebut terjadi.
Saat gelap menjelang, Amelia merasakan rumahnya begitu sunyi mencekam.
Ruang-ruang yang biasa diisi oleh sosok ayahnya yang berwibawa mendadak hilang.
Rumah yang biasanya ramai, dan banyak staf-staf ayahnya lalu lalang bekerja hingga larut malam kini hilang dan senyap.
5. Kehidupan perekonomian menurun
Usai ditinggal sang kepala keluarga, kehidupan Amelia dan keluarganya semakin terasa berat.
Taraf kehidupan keluarganya menurun drastis.
Segala fasilitas ayahnya dicabut, sehingga harus hidup prihatin.
Namun ia menepis anggapan bahwa keluarga Achmad Yani mendapat fasilitas dari keluarga Soeharto sehingga tetap dapat hidup enak.
“Tidak. Ibu selalu menanamkan untuk tidak begini,” kata Amelia dengan tangan menengadah.
6. Pukulan berat untuk sang istri jenderal
Pukulan terberat dirasakan Yayu Ruliah Sutodiwiryo, istri dari Achmad Yani.
Saat insiden berlangsung, Yayu tak berada di rumah akibat masalah rumah tangga.
“Kalau sore, kami mencari di mana ibu. Sering kami jumpai beliau ada di ruangan tempat menggantung semua baju-baju bapak. Beliau sering menangis sambil memegangi baju bapak yang ada bekas darahnya!” kenang Amelia.
7. Konsultasi ke psikiater selama setahun
Melihat kesedihan ibunya, memori tentang Ahmad Yani selalu memenuhi benak Amelia.
Ia pun terpaksa harus berkonsultasi dengan psikiater dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat selama setahun untuk menyembuhkan traumanya.
Seiring waktu berjalan, Amelia kian bertambah dewasa.
Ia kemudian menyadari jika dirinya tak sendiri memikul beban ini.
Selain keluarga Pahlawan Revolusi, pada posisi bersebarangan, jutaan anak-anak lain juga merasakan duka yang sama.
Keluarga mereka hilang tanpa tahu dimana berada, dipenjara, dibunuh atau apapun, mereka bahkan tak tahu.
“Saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Rasa kehilangan itu pastilah sama, tapi mereka pastinya lebih berat” kata Amelia berempati.
(TribunWow.com/Fachri Sakti Nugroho)