Gamawan Fauzi Akui Terima Pinjaman Uang Untuk Honor Kerja dan Berobat
Gamawan Fauzi, mengakui menerima uang, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017).
Penulis: Wulan Kurnia Putri
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNWOW.COM - Gamawan Fauzi, mengakui menerima uang, saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017).
Menurut Mantan Menteri Dalam Negeri tersebut, pemberian uang itu terkait keperluannya berobat dan honor kerja.
Kepada Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Gamawan mengakui jika dirinya mengenal Afdal Noverman.
"Saya pernah pinjam uang," ujar Gamawan, kepada jaksa KPK, Abdul Basir, seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Saat itu, Gamawan butuh uang Rp 1 Miliar untuk membeli tanah dan berobat.
Pria yang memiliki gelar Datuk Rajo Nan Sati mengaku, jika saat itu dirinya menderita kanker usus dan harus dioperasi di rumah sakit Singapura.
Baca: AHY Disiapkan Untuk Tugas Besar, Hinca: Jangan Paksa Demokrat Usung Cagub Yang Tidak Mau Kami Dukung
Baca: Relawan Agus-Sylvi Tunggu Komando Merapat ke Anies atau Ahok, Ini Kata AHY
Baca: Siswi TK Ini Terkoyak Lehernya Setelah Diterkam Harimau di Jatim Park 2
Gamawan mengaku total uang yang ia pinjam sebesar Rp 1,5 miliar.
"Saya operasi di luar negeri. Saya makan obat yang mahal dan waktu itu saya kehabisan uang," kata Gamawan.
Pria kelahiran 9 November 1957 ini juga mengaku jika dirinya menerima uang Rp 50 juta.
Menurutnya, uang tersebut merupakan honor kunjungan kerja di lima provinsi.
"Honor saya bicara di satu provinsi itu Rp 10 juta. Jadi lima provinsi Rp 50 juta," kata Gamawan.
Berdasarkan surat dakwaan kasus dugaan korupsi proyek EKTP senilai Rp 5,9 miliar, Gamawan menerima jatah Rp 60 miliar.
Gamawan Sebut Komisi II
Gamawan mengatakan, Komisi II DPR RI periode 2009-2014 mengusulkan perubahan sumber anggaran proyek pengadaan EKTP.
Awalnya, sumber anggaran rencananya berasal dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN).
Namun akhirnya disepakati dibiayai dengan rupiah murni.
"DPR minta supaya diupayakan dengan anggaran APBN murni karena sebelumnya ada PHLN," ujar Gamawan.
Hal itu disepakati dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI.
Baca: Saking Mirisnya Potret Pendidikan di Tanah Papua, Netizen Sampai Mention Jokowi dan Kemendikbud RI
Baca: AHY Dipersiapkan untuk Tanggung Jawab yang Lebih, Roy Suryo: Tunggu Saja Tanggal Mainnya
Baca: Sempat Dijenguk Presiden Jokowi, KH Hasyim Muzadi Kini Berpulang
Menurut Gamawan, keputusan tersebut bukan hal baru.
Berdasarkan yang ia ketahui, sumber anggaran itu sudah disepakati di era Menteri Dalam Negeri sebelumnya, Mardiyanto.
"Berati seolah-olah kan sudah lama. Ya saya teruskan saja," kata Gamawan.
Namun, dalam dakwaan disebutkan, Gamawan mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang isinya meminta agar mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis NIK, yang semula dibiayai dengan menggunakan PHLN menjadi bersumber dari anggaran rupiah murni.
Perubahan sumber pembiayaan tersebut, kemudian dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat, antara Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II DPR RI.

EKTP Tidak Penuhi Target
Gamawan Fauzi mengakui jika EKTP tidak memenuhi target 172 juta lembar.
Menurutnya, jika tidak memenuhi target, seharusnya ada pengembalian sisa anggaran.
"Kira-kira baru 145 juta perekaman waktu itu yang dilaporkan ke saya. Kalau tidak tercapai, uang bisa dikembalikan," kata Gamawan kepada majelis hakim.
Namun, Gamawan mengaku tidak mengetahui apakah pengembalian dilakukan.
"Saya tidak tahu, itu kewenangan pengelola anggaran," kata Gamawan.
Menurut Gamawan, dalam proyek EKTP senilai Rp 5,9 triliun itu, ia sudah meminta pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, tidak ada satu lembaga pun yang melaporkan ada kerugian negara.

"Karena Menurut Undang-Undang, yang Aktif Itu Rakyat, Bukan Pemerintah,"
Gamawan Fauzi menyalahkan masyarakat terkait terhambatnya proyek EKTP.
Menurutnya, proyek EKTP dimenangkan konsorsium Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI), yang terdiri dari Perum PNRI, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo persero), PT LEN Industri (persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthaputra.
Gamawan mengatakan, hambatan terjadi saat pelaksana harus melakukan perekaman data penduduk.
Kesulitan terjadi saat masyarakat banyak yang tidak datang untuk menyerahkan data.
"Karena menurut undang-undang, yang aktif itu rakyat, bukan pemerintah," kata Gamawan.
Menurut Gamawan, jika masyarakat yang berinisiatif sedikit datang dan menyerahkan data identitas, maka pelaksana proyek EKTP harus bersusah payah melakukan sosialisasi hingga ke tingkat kecamatan.
"Saya yakin sampai sekarang ada yang tidak datang untuk merekam," kata Gamawan. (TribunWow.com / Wulan Kurnia Putri)