Polemik Pejabat Negara
3 Kebijakan Bahlil Lahadalia yang Dinilai Kontroversial: Monopoli BBM sampai Batasi Gas LPG
Simak 3 kebijakan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang kerap jadi sorotan.
Penulis: Magang TribunWow
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia beberapa kali menjadi sorotan ihwal kebijakannya.
Kebijakan yang diambil oleh Bahlil Lahadalia ini terjadi polemik di masyarakat saat dirinya menjabat menteri di Kabinet Merah Putih era Prabowo-Gibran.
Sejumlah kebijakan Menteri Bahlil Lahadalia menuai sorotan baik di media sosial maupun ramai jadi perbincangan.
Baca juga: Bukan Cuma Erick Thohir, Ini 5 Menteri Rangkap Jabatan Ketum Federasi Sepak Bola, Qatar hingga Rusia
1. Monopoli BBM oleh Pertamina
SPBU swasta seperti AKR, Vivo, dan Shell mengeluh karena stok BBM kosong yang mereka alami karena kebijakan Menteri Bahlil Lahadalia yang dikeluarkan pada awal Agustus 2025.
Kebijakan itu mengacu pada Pasal 14 ayat (1) Perpres Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas.
Isinya, perusahaan SPBU swasta dilarang melakukan impor untuk stok bahan bakar.
Sebagai gantinya, SPBU Swasta harus mengambil stok dari Pertamina.
Bahlil menganggap kebijakan ini guna menjaga neraca perdagangan sekaligus mengatur pemenuhan kebutuhan bahan bakar.
Alhasil, para pekerja SPBU swasta harus menghadapi ancaman PHK.
Sebagian mereka bertahan dengan berjualan makanan ringan sampai kopi di SPBU.
Menanggapi hal ini, dilansir dari WARTAKOTAlive.com, SPBU swasta akhirnya menyetujui aturan yang dibuat Bahlil untuk berkolaborasi dengan Pertamina dalam memasok BBM.
Di sisi lain, Eddy Soeparno, Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi VII DPR RI, kontra dengan kebijakan itu.
Menurutnya pemerintah harus tetap membuka keran impor BBM bagi perusahaan migas swasta.
Hal ini guna menjaga iklim usaha yang kompetitif dan memberikan lebih banyak opsi kepada konsumen.
Baca juga: Menteri Bahlil Singgung soal Adanya Reshuffle, Istana Beri Bantahan dan Singgung Partai Golkar
2. Kebijakan Pembatasan Gas LPG 3 kg
Dilansir dari Tribunnews, pada 1 Februrai 2025, Bahlil Lahadalia mengeluarkan kebijakan soal pembatasan pembelian gas LPG 3 kg.
Gas LPG 3 kg tidak dijual lagi di pengecer, melainkan lewat pangkalan resmi.
Selain itu, masyarakat yang membeli harus menunjukkan NIM dan KTP.
Hal ini mengakibatkan antrean pembelian gas LPG 3 kg mengular di beberapa daerah.
Kebijakan itu banyak dikecam karena disebut akan berpotensi mematikan UMKM.
Pengamat ekonomi dan energi dari UGM, Fahmi Radhi, melalui Kontan mengatakan jika aturan ini sulit diterapkan bagi pengusaha kecil karena mereka butuh modal besar untuk menjadi pangkalan atau pengecer resmi Pertamina.
"Mustahil bagi pengusaha akar rumput untuk mengubah menjadi pangkalan atau pengecer resmi Pertamina karena dibutuhkan modal yang tidak kecil untuk membayar pembelian LPG 3 dalam jumlah besar," ujar Fahmi.
Ia menilai, seharusnya ada tahap transisi yang diberikan pemerintah agar tidak segera memunculkan kelangkaan LPG 3 kg yang ekstrem.
Baca juga: BREAKING NEWS Daftar 5 Menteri Dicopot, Reshuffle Kabinet Prabowo: Sri Mulyani Diganti Purbaya Yudhi

3. Kebijakan Pertambangan Nikel di Raja Ampat
Menteri Bahlil membuat polemik yang ramai digaungkan di media sosial hingga aktivis Greenpeace soal izin penambangan di Raja Ampat.
Greenpeace mengungkap jika penambangan itu ilegal karena terjadi di sejumlah pulau-pulau kecil di Raja Ampat.
Padahal berdasarkan Undang-Undang, pulau kecil itu masuk katergori yang tidak boleh ditambang.
Namun, saat itu Bahlil tetap memberikan izin tambang hingga muncul #SaveRajaAmpat untuk melawan kebijakan Bahlil.
Pada 5 Juni, Bahlil menghentikan sementara aktivitas penambangan.
Menanggapi keputusan ini, pengamat maritim Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Marcellus Hakeng Jayawibawa, melalui Tribunnews menilai jika seharusnya pertambangan ditiadakan sama sekali di Raja Ampat.
"Pertambangan apa pun harus dihentikan di Raja Ampat," kata Bane saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (6/6/2025).
Terbukti, pada pertengahan bulan September 2025, aktivitas penambangan itu kembali terjadi.
Pihak dari Kementerian ESDM melalui Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno saat ditemui di Jakarta Convention Center, Rabu (17/9/2025) berkilah jika aktivitas itu hanya sebagai audit lingkungan.
“Audit lingkungan itu harus beroperasi penuh. Kalau nggak beroperasi penuh, gimana kita tahu ada potensi pencemaran lingkungannya. Kalau dikurang-kurangin operasinya, malah kurang lah audit,” kata Tri dikutip dari Kompas.com.
(TribunWow.com/Peserta Magang dari Universitas Airlangga/Afifah Alfina)
Baca Berita Menarik Lainnya di Google News