“Pilot, nahkoda dan masinis ada sekolahnya dan wajib bersekolah dulu. Akan tetapi sopir angkutan darat (mobil, bus, dan truk) tidak ada sekolahnya dan tidak melewati pendidikan dan latihan (Diklat). Untuk dapat mengendarai bus dan truk cukup melalui pemagangan menjadi kernet, dimulai dari markir kendaraan dan cuci kendaraan. Setelah bisa markir kendaraan, kemudian mencoba menjalankan truk/bus dalam jarak terbatas, dan seterusnya,” jelasnya.
“Cara ini harus segera diakhiri. Kementerian Perhubungan bersama Polri saling berkoordinasi dapat memulai membuat Sekolah Mengemudi untuk calon pengemudi angkutan umum,” kata Djoko.
Hal ini kata Djoko sesuai amanah Pasal 77 (ayat 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
Setelah ada sekolah mengemudi untuk calon pengemudi truk dan bus, maka semua calon pengemudi wajib mengikuti sekolah mengemudi dulu sebelum memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi).
Sementara SIM hanya dapat diberikan kepada mereka yang sudah lulus mengikuti sekolah mengemudi.
Sedangkan bagi mereka yang sudah punya SIM dan selama ini sudah menjalankan truk, wajib mengikuti Diklat minimal satu minggu untuk memahami aspek keselamatan dan perilaku berlalu lintas yang beradab.
“Tentu semua biaya dari negara, karena pengemudi angkutan umum tentu tidak punya uang,” jelasnya.
Selain itu, batas pendidikan minimum dan usia calon pengemudi angkutan umum (bus/truk) juga harus ada.
Hal itu seusai dengan Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi yang telah menetapkan calon pengemudi angkutan umum minimal berusia 22 tahun dan berpendidikan minimal SMTA.
“Bisnis angkutan truk harus ditata agar lebih profesional. Memiliki sistem manajemen keselamatan, hubungan industrial yang benar, sehingga proses rekrutmen pengemudi juga melalui cara-cara yang benar dan memperhatikan kompetensi, serta ada batasan jam kerja serta pendapatan minimal,” jelasnya.
Sebelumnya Rouf (43), sosok penyebab kecelakaan maut di Ruas Jalan Tol Cipularang Km 92, Jawa Barat, ternyata baru bekerja sebagai sopir truk selama empat bulan.
Istri Rouf, Tunah (33) mengatakan, sebelum menjadi sopir truk, suaminya berprofesi sebagai pemulung barang bekas.
"Kenapa nasib kami seperti ini, udah mah nggak punya (materi) malah ada peristiwa seperti ini," ucap Tunah saat ditemui di rumahnya di Desa Seuat Jaya, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Banten, Rabu, dilansir TribunBanten.com.
Adapun raut wajah Tunah tampak gelisah bercampur sedih saat mendengar kabar suaminya terlibat kecelakaan beruntun.
Ia sesekali memeluk dan menciumi anak bungsunya. Ibu lima anak itu terus menangis menunggu kabar terkini suaminya.
"Pertama dengar kabar suami kecelakaan sedih, kaget, langsung pingsan," ucap Tunah.