"Dari hasil perhitungan, dapat ditentukan volume DMO yang bisa dikurangi untuk menghasilkan nilai setara dengan investasi pembangkit EBT.
Pengurangan volume DMO menghasilkan tambahan dana karena sebagian batubara, yang sebelumnya dijual dengan harga 70 dolar per ton, dapat dijual ke pasar internasional dengan harga di atas 100 dolar per ton,” ujar Hanafi lebih lanjut.
Pemerintah, dalam kajian Hanafi, akan memberikan insentif bagi para pengusaha konsorsium yang memberikan dukungan invetasi awal EBT tersebut.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan mengurangi kewajiban DMO konsorsium tersebut. Setelah pembangkit listrik EBT beroperasi, pengelolaan akan diserahkan kepada PLN.
Baca juga: Pelantikan Nasfryzal Carlo sebagai Ketua Umum DPD Ikal Lemhannas Sumbar, Angkat Isu Kearifan Lokal
Meski demikian, usulan ini bukan tanpa tantangan.
Hanafi meminta agar diperhatikan regulasi yang mendukung, keakuratan dalam memprediksi harga batubara, investor teknologi, dan koordinasi antar berbagai pihak terkait.
Namun demikian, usulan pemanfaatan DMO batubara untuk investasi EBT merupakan langkah inovatif yang patut dipertimbangkan secara serius.
Konsep ini tidak hanya menawarkan solusi untuk masalah energi, tetapi juga dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Ajang Bergengsi
Konferensi di Hotel Mulia itu menjadi ajang bergengsi karena memertemukan narasumber yang merupakan pakar di bidangnya.
Para narasumber tersebut membahas teknologi baterai, investasi energi terbarukan, serta kebijakan dan standardisasi terkait.
Menurut Evvy Kartini sebagai pendiri BRIN, Indonesia mampu memproduksi baterai dengan sumber daya, pengetahuan, dan keterampilan sendiri. Kolaborasi menjadi penting untuk memperkuat pengembangan kendaraan Listrik (EV) di Indonesia.
Sependapat dengan Evvy, Suharyadi menegaskan bahwa Kolaborasi ICB-REV dan BTS akan terus menjadi ajang tahunan yang saling mendukung tidak hanya di kalangan peneliti tetapi juga memberikan manfaat bagi industri. Kolaborasi ini akan mendorong pengembangan teknologi baterai nasional dan mempercepat pencapaian target Net Zero Emissions (NZE).
Silke Christiansen Prof. Alan J. Drew sepakat, standarisasi baterai listrik sangat penting. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran tentang keselamatan dan dampaknya terhadap lingkungan.
Penting juga untuk memastikan bahwa baterai diproduksi secara berkelanjutan. Bahkan Alan dan timnya juga melakukan penelitian di Indonesia mengenai perbandingan antara metode penggantian (swapping) dan pengisian (charging) baterai untuk kendaraan listrik roda dua.