Polisi Tembak Polisi

Ungkap Karakter Ferdy Sambo saat SMA, sang Guru Kaget Muridnya Bunuh Brigadir J: Tak Terbayangkan

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Herman Hading (71), guru dan wali kelas Ferdy Sambo (49) di SMA 1 Makassar (1989-1991), masih belum percaya muridnya terlibat kasus pembunuhan berencana anak buahnya, Brigadir Polisi Yosua Hutabarat (1994 - 8 Juli 2022).

TRIBUNWOW.COM - Guru dan wali kelas Ferdy Sambo semasa SMA, Herman Hading (71) masih mengingat jelas sosok mantan muridnya tersebut.

Dilansir TribunWow.com, mantan kepala sekolah SMA 1 Makassar, Sulawesi Selatan tersebut menilai Ferdy Sambo adalah murid yang baik dan memiliki sifat kepemimpinan yang menonjol.

Karenanya, Herman begitu terkejut mendengar Ferdy Sambo disidang sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Baca juga: Ferdy Sambo Tolak Pengampunan Keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak: Penjahat seolah Malaikat

Ditemui seusai menunaikan sholat jamaah Magrib di Masjid Nurul Qiraat, Kompleks BPG, Jl Adhyaksa, Panakkukang, Makassar, Kamis (26/1/2023) petang, Herman mengenang sosok muridnya tersebut.

Menurut Herman, Ferdy Sambo yang akrab disapa Pepi, adalah orang yang jujur dan disiplin. 

"Pepi (sapaan Ferdy Sambo) itu, murid jujur, saya ini tahu betul karakternya. Kalau ketemu saya, dia pasti masih cium tangan saya, seperti 30 tahun lalu," kata Herman dikutip Tribun-Timur.com, Jumat (27/1/2023).

Terdakwa Ferdy Sambo saat menjalani sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (24/1/2023). Ferdy Sambo membacakan nota pembelaan atau pleidoi dengan judul Setitik Harapan dalam Ruang Sesak Pengadilan. Dalam pembelaannya, Ferdy Sambo bersikeras membantah rencanakan pembunuhan Brigadir J. (Tribunnews/Jeprima)

Baca juga: Minta Dibebaskan, Ferdy Sambo Menuntut Nama Baiknya Dipulihkan Karena Tak Terbukti Bunuh Brigadir J

Ia mengaku tak menyangka, Ferdy Sambo justru melakukan perbuatan kriminal di saat berada di puncak karier.

Apalagi mengingat sifat Ferdy Sambo yang dikenalnya sabar dan begitu penurut.

"Saya tak pernah bayangkan itu, bahwa orang yang sabar, orang yang penurut, orang yang pintar, di (pangkat) bintang dua dia begitu. Ini (kapasitas) saya sebagai guru."

Herman yang dulunya guru olahraga merangkap wali kelas tersebut masih jelas mengingat betapa Ferdy Sambo di masa SMA, menonjol di antara teman lain.

"Pepi itu ketua kelas. Saya ingat, saat masih kelas 2, dia sudah biasa jadi pemimpin upacara di depan 1.000 siswa," kata Ferdy Sambo.

Meski dekat dengan muridnya tersebut, Herman mengaku tak pernah lagi bertemu maupun berkomunikasi dengan Ferdy Sambo.

"Saya hanya dengar cerita soal karier bagusnya di Mabes dari teman angkatannya."

Di sisi lain, kasus Ferdy Sambo ternyata turut mencoreng nama sang guru yang dianggap salah didik.

"Sampai-sampai banyak itu anak-anak (murid-murid SMANsa lain) kalau saya ketemu dia bilang, 'Bapak, salah didik ki Ferdy Sambo'," ujar Herman dikutip Tribun-Timur.com, Jumat (27/1/2023).

Pensiunan yang kini menjadi pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulsel tersebut mengaku kerap ditanya soal Ferdy Sambo.

Baik oleh alumni maupun para pejabat yang sempat berinteraksi dengannya.

"Dan jawaban saya, adalah karakter Sambo yang saya kenal 32 tahun lalu," terang Herman.

Uniknya, dalam pusara kasus Brigadir J, paling tidak ada lima muridnya yang terseret dengan berbagai peran berbeda.

"Mulai dari tersangkanya, penyidiknya, pengacara hingga saksi ahlinya, adalah murid yang pernah saya ajar," ungkap Herman.

Mereka antara lain adalah Ferdy Sambo (Smansa’91), Brigjen Pol Andi Rian Jayadi (penyidik kasus di bareskrim Mabes Polri, Smansa’87), Muh Burhanuddin (pengacara Brigadir J, Smansa ’89), Arman Hanis, SH (Pengacara Putri Candrawati, Smansa ’91), dan terakhir, paling senior Prof Dr Said Karim (60, Smansa 1983, yang jadi saksi ahli meringankan untuk terdakwa Ferdy Sambo.

Baca juga: Bantah Selingkuh dengan Brigadir J? Putri Candrawathi Kisahkan Perjalanan Cinta Bersama Ferdy Sambo

Ferdy Sambo Merasa Dianggap Penjahat Terbesar

Sebelumnya, terdakwa Ferdy Sambo menyampaikan nota pembelaan alias pledoi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023).

Dilansir TribunWow.com, Ferdy Sambo membantah telah merencanakan pembunuhan terhadap ajudannya, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Ia pun mengeluhkan ramainya kecaman publik yang diterimanya seolah-olah dirinya seperti penjahat paling kejam yang layak dikutuk.

Baca juga: Bantah Selingkuh dengan Brigadir J? Putri Candrawathi Kisahkan Perjalanan Cinta Bersama Ferdy Sambo

Sebagaimana diketahui, Ferdy Sambo diduga mendalangi kematian Brigadir J pada Jumat (8/7/2022) di rumah dinasnya, Duren Tiga No. 46, Jakarta Selatan.

Ia diklaim memerintahkan anak ajudannya, Richard Eliezer alias Bharada E untuk menembak Brigadir J.

Kemudian, Ferdy Sambo menekan sejumlah aparat bahwannya untuk membuat kasus tersebut seolah menjadi insiden tembak-menembak.

Setelah seluruh fakta terungkap, Ferdy Sambo membeberkan bahwa ia merasa marah pada Brigadir J yang disebut telah merudapaksa istrinya, Putri Candrawathi.

“Penderitaan yang menimpa saya hari ini dialami oleh peristiwa yang diawali dari peristiwa yang dialami oleh istri saya, Putri Candrawathi pada tanggal 7 Juli 2022," ucap Ferdy Sambo dikutip KOMPASTV.

"Pada tanggal 8 Juli 2022 istri saya yang terkasih Putri Candrawathi tiba dari Magelang dan menyampaikan bahwa dirinya telah diperkosa oleh almarhum Yosua sehari sebelumnya di rumah kami di Magelang," imbuhnya.

Potret eks Kadiv Propam Polri (Irjen Pol) Ferdy Sambo (kiri) bersama mantan ajudannya, mendiang Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). (Tangkapan Layar YouTube KOMPASTV)

Baca juga: Lolos dari Tuntutan Hukuman Mati, Ferdy Sambo Terlihat Menghela Napas Dalam-dalam, Lihat Ekspresinya

Saat itulah ia merasa begitu marah dan gelap mata hingga merencanakan untuk mengkonfrontasi Brigadir J.

Namun, Ferdy Sambo membantah meminta Bharada E untuk menembak ataupun membunuh Brigadir J.

Ia juga menyangkal telah merencanakan pembunuhan tersebut dan menimpakan kesalahan pada Bharada E.

"Majelis yang terhormat, pada saat pembicaraan dengan Ricky Rizal maupun Richard Eliezer di Saguling, sama sekali tidak ada rencana atau niat yang saya sampaikan untuk membunuh Yosua, sebagaimana yang dituduhkan penuntut umum dalan surat tuntutannya yang hanya bersandar pada keterangan terdakwa Richard Eliezer," ungkap Ferdy Sambo.

"Entah apa yang ada di benak saya saat itu, tapi seketika itu juga terlontar dari mulut saya ‘Hajar Cad, hajar, kamu hajar Cad’ Ricard langsung mengokang senjatanya dan langsung menembak beberapa kali ke arah Yosua."

"Peluru Richard menembus tubuh Yosua dan menyebabkan almarhum Yosua jatuh dan meninggal dunia."

Meski berbeda dengan keterangan Bharada E, Ferdy Sambo menyatakan ia sempat meminta ajudannya untuk berhenti menembak.

"Kejadian tersebut terjadi begitu cepat, ‘Stop, berhenti’ saya sempat mengucapkannya, berupaya menghentikan tembakan Richard," ujar Ferdy Sambo.

Ia kemudian mengaku kalut dan panik hingga akhirnya membuat skenario untuk melindungi diri.

Kemudian disusunlah cerita tembak-menembak antara Brigadir J yang disebut kepergok Bharada E saat hendak melecehkan Putri.

Ferdy Sambo pun menyeret puluhan anggota polisi yang kini telah disanksi dan dipecat lantaran menghilangkan barang bukti.

Ia kemudian menyinggung kiprah selama 28 tahun menangani tersangka dan membandingkan dengan pengalamannya.

Menurutnya, tekanan yang dialaminya terlalu berat hingga merasa dirinya adalah penjahat terbesar sepanjang sejarah.

"Selama 28 tahun saya bekerja sebagai aparat penegak hukum dan menangani berbagai perkara kejahatan termasuk pembunuhan, belum pernah saya menyaksikan tekanan yang begitu besar kepada seorang terdakwa," ucap Ferdy Sambo.

"Sejak awal saya ditempatkan sebagai terperiksa dalam perkara ini, beragam tuduhan telah disebarluaskan di media dan masyarakat, seolah saya penjahat terbesar sepanjang sejarah manusia."(TribunWow.com/Via)

Berita lain terkait