Konflik Rusia Vs Ukraina

Lagi-lagi Ancam Pakai Nuklir, Mantan Presiden Rusia Ungkap Akibat jika Negaranya Kalah di Ukraina

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Rekarinta Vintoko
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitri Medvedev memperingatkan jika hal itu terjadi maka kiamat akan datang ke Ukraina, Senin (18/7/2022). Terbaru, Medvedev kembali mengancam akan gunakan nuklir jika Ukraina menang di medan perang, Kamis (19/1/2023).

TRIBUNWOW.COM - Mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev, memperingatkan NATO bahwa kekalahan Moskow di Ukraina dapat memicu perang nuklir.

Dilansir TribunWow.com, pernyataan pejabat yang dekat dengan Presiden Rusia saat ini, Vladimir Putin, tersebut didukung oleh kantor kepresidenan Kremlin.

Hal ini diungkapkan Medvedev saat aliansi militer Eropa tersebut hendak mengadakan pertemuan dengan pihak Barat untuk membahas bantuan senjata ke Ukraina.

Baca juga: Ukraina Laporkan Serangan Siber Rusia Meningkat 3 Kali Lipat Setahun Terakhir, Sebut Ancaman Nyata

Medvedev yang kini menjabat sebagai wakil ketua dewan keamanan Rusia, beberapa kali membuat pernyataan terkait nuklir.

Ia sebelumnya juga pernah berusaha menakut-nakuti Barat dengan ancaman serupa saat hendak mengirim kendaraan tempur ke Ukraina.

Kini, Medvedev menekankan agar Ukraina tak memenangkan perang tersebut, lantaran dapat memicu perang nuklir.

"Kekalahan kekuatan nuklir dalam perang konvensional dapat memicu perang nuklir," kata Medvedev, dikutip Al Jazeera, Kamis (19/1/2023).

"Kekuatan nuklir tidak pernah kalah dalam konflik besar yang menjadi sandaran nasib mereka."

Rusia melakukan latihan nuklir dengan Rudal Yars antarbenua, latihan nuklir ini berlokasi di sebuah hutan di Siberia barat. (Tangkapan Layar Tribunnews.com)

Baca juga: Moderator Panik saat Presiden Rusia Vladimir Putin Terdiam seusai Candaan soal Potensi Kiamat Nuklir

Dia juga mengatakan aliansi militer dan pemimpin pertahanan Barat lainnya, harus mempertimbangkan risiko kebijakan mereka.

Adapun pertemuan tersebut diadakan di Pangkalan Udara Ramstein, Jerman untuk membahas dukungan bagi Ukraina, Jumat (20/1/2023).

Kremlin dengan cepat mendukung Medvedev, dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sepenuhnya sesuai dengan prinsip Moskow.

Diketahui, sejak Rusia menginvasi Ukraina hampir setahun yang lalu pada 24 Februari, Medvedev telah berulang kali mengangkat ancaman kekacauan nuklir dan menggunakan hinaan untuk menggambarkan Barat.

Faktanya, Rusia memiliki keunggulan nuklir di atas aliansi di Eropa, sementara NATO memiliki keunggulan militer konvensional atas Rusia.

Menurut Federasi Ilmuwan Amerika, Rusia memiliki 5.977 hulu ledak nuklir, sementara Amerika Serikat memiliki 5.428, China 350, Prancis 290 dan Inggris 225.

Sebagai presiden, Putin adalah pembuat keputusan utama Rusia dalam penggunaan senjata nuklir.

Washington belum merinci apa yang akan dilakukannya jika Putin memerintahkan penggunaan pertama senjata nuklir dalam perang sejak Amerika Serikat melancarkan serangan bom atom pertama di kota-kota Jepang di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.

Baca juga: Putin Diklaim Sudah Coba Tembakkan Nuklir ke Ukraina, Namun Gagal Karena Adanya Sabotase

Kata Putin soal Potensi Pemakaian Nuklir

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ancaman perang nuklir meningkat di tengah memanasnya konflik di Ukraina.

Dilansir TribunWow.com, Putin juga menegaskan Moskow belum gila dan tidak akan menggunakan persenjataannya terlebih dahulu.

Ia juga mengatakan sanggup untuk berperang di Ukraina dalam jangka waktu yang lama untuk dapat mencapai tujuannya.

Baca juga: 3.500 Tentara Rusia dan Keluarganya Hubungi Ukraina, Buat Skema Kelabui Putin agar Bebas dari Perang

Amerika Serikat pada hari Rabu (7/12/2022), mengecam pembicaraan tentang senjata nuklir setelah Putin mengatakan Rusia hanya akan menggunakan senjata atom sebagai tanggapan atas serangan musuh.

"Kami pikir pembicaraan bebas tentang senjata nuklir sama sekali tidak bertanggung jawab," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.

AS sebelumnya telah memperingatkan Moskow tentang penggunaan senjata tersebut menyusul ancaman nuklir terselubung oleh Putin pada bulan September.

Menanggapi hal ini, dalam pertemuan dewan hak asasi manusia Rusia yang disiarkan televisi, Putin mengatakan pihaknya akan membela diri dengan segala cara yang dimiliki.

Dia memperingatkan risiko perang nuklir meningkat, tetapi Rusia melihat persenjataannya sebagai sarana untuk membalas, bukan untuk menyerang lebih dulu.

"Kami belum gila, kami menyadari apa itu senjata nuklir," kata Putin dikutip dari Al Jazeera, Jumat (9/12/2022).

"Kami memiliki sarana ini dalam bentuk yang lebih maju dan modern daripada negara nuklir lainnya. Tapi kami tidak akan berkeliling dunia sambil mengacungkan senjata ini seperti pisau cukur."

Seluruh pasukan cadangan Rusia dikerahkan ke perbatasan Ukraina, Kamis (14/7/2022). (Tangkapan Layar Tribunnews.com)

Baca juga: Zelensky Maju ke Garis Depan Perang Ukraina Vs Rusia, Motivasi Para Tentara di Tengah Udara Beku

Putin juga mengatakan pasukan Rusia dapat berperang di Ukraina untuk waktu yang lama, tetapi dia mengklaim tidak akan memobilisasi tentara tambahan pada saat ini.

"Mengenai lamanya operasi militer khusus, tentu saja, ini bisa menjadi proses yang panjang," kata Putin, menggunakan istilah yang disukainya untuk invasi Rusia, yang dimulai pada akhir Februari.

Dia mengatakan tidak ada alasan untuk mobilisasi kedua, setelah memanggil setidaknya 300.000 cadangan pada bulan September dan Oktober.

Putin mengatakan dari 150.000 tentara di antaranya dikerahkan di Ukraina, 77.000 di unit tempur dan lainnya di fungsi pertahanan, sementara 150.000 sisanya masih berada di pusat pelatihan.

"Dalam kondisi seperti ini, berbicara tentang tindakan mobilisasi tambahan tidak masuk akal," klaim Putin.

Putin jarang membahas kemungkinan durasi perang, meskipun pada bulan Juli dia mengatakan bahwa Rusia baru saja mulai serius.

Sejak itu, pasukan Rusia telah didesak mundur secara signifikan, tetapi Putin mengatakan dia tidak menyesal meluncurkan perang yang paling menghancurkan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.(TribunWow.com/Via)

Berita terkait lainnya