Konflik Rusia Vs Ukraina

1 Keluarga Meninggal hingga Bocah 12 Tahun Tewas, Zelensky Ungkit Korban Misil Rusia di Odesa

Penulis: anung aulia malik
Editor: Tiffany Marantika Dewi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rusia dituding bertanggung jawab atas serangan misil ke Odesa, Ukraina yang menewaskan 21 orang, Jumat (1/7/2022).

Dilansir TribunWow.com, Kamis (23/6/2022), hal ini diungkapkan oleh ekonom Amerika, pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomi, Joseph Stiglitz untuk portal Sheerpost.

Baca juga: VIDEO Amerika Kirim Sistem Roket Jarak Jauh M142 ke Ukraina, Jaminan Tidak Serang Rusia

Ia mengatakan bahwa Amerika memasuki perang dingin dengan dua negara adidaya dunia lainnya.

Apalagi mengingat keterlibatan aktif Amerika dalam konflik antara Rusia dan Ukraina.

“Amerika Serikat tampaknya memasuki perang dingin baru dengan China dan Rusia," kata Stiglitz dikutip RIA Novosti.

"Dan bahwa para pemimpin AS menggambarkan konfrontasi ini sebagai konfrontasi antara demokrasi dan otoritarianisme yang tidak lulus ujian. Terutama pada saat para pemimpin yang sama secara aktif mendorong pelanggar hak asasi manusia sistematis seperti Arab Saudi."

"Kemunafikan semacam itu menunjukkan bahwa apa yang sebenarnya dipertaruhkan, setidaknya sebagian, adalah hegemoni global, bukan nilai," imbuhnya.

Menurut sang ekonom, selama dua dekade setelah jatuhnya Uni Soviet, AS jelas menjadi nomor satu di dunia.

Tapi kemudian diikuti perang di Timur Tengah, kehancuran keuangan tahun 2008, dan meningkatnya ketidaksetaraan, membuat kepemimpinan Washington dipertanyakan dalam politik dunia.

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) tersenyum saat menjabat tangan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam pertemuan bilateral perdana di Villa la Grange, Jenewa, Swiss, pada 16 Juni 2021. Terbaru, AS dinilai memasuki fase perang dingin dengan Rusia dan China. (AFP PHOTO/SPUTNIK/MIKHAIL METZEL)

Stiglitz mencatat kepastian bahwa China akan menyusul AS secara ekonomi.

"Amerika Serikat tidak dapat memenangkan persaingan baru kekuatan-kekuatan besar sendirian, mereka membutuhkan sekutu," ujar Stiglitz.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sekutu AS disebutkan memiliki semakin banyak alasan untuk meragukan keandalan Washington sebagai mitra.

"Trump telah melakukan semua yang dia bisa untuk mengasingkan negara-negara ini, dan Partai Republik, yang masih berhutang budi kepadanya, telah memberikan cukup alasan untuk meragukan apakah AS adalah mitra yang dapat diandalkan," tambahnya.

Dalam mencari bantuan dari negara-negara dunia, AS harus bisa mengejar ketertinggalan.

Namun, sejarah panjang eksploitasi mereka di negara lain justru tidak akan membantu.

Apalagi isu rasisme mereka yang mendalam, sebuah kekuatan yang dikatakan telah diarahkan oleh Trump dengan terampil dan sinis.

Halaman
1234