TRIBUNWOW.COM - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan kemungkinan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengandung pasal karet alias multitafsir.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam Metro Hari Ini, Selasa (16/2/2021).
Diketahui sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta polisi lebih selektif dan hati-hati dalam menimpakan pasal UU ITE kepada tersangka kasus.
Baca juga: Sebut Momentum Baik Presiden Jokowi Minta Tinjau UU ITE , Hariz Azhar: Banyak yang Tidak Tepat
Ia juga mengungkap kemungkinan UU ITE harus direvisi jika dirasa tidak menciptakan keadilan.
Menanggapi hal itu, Wamenkumham Edward mengaku memahami dapat memahami kekhawatiran Jokowi.
"Memang saya bisa memahami kegalauan Bapak Presiden, karena memang UU ITE itu kalau kita bicara dalam konteks hukum pidana itu dibagi menjadi tiga, sebetulnya," papar Edward.
"Yang dikatakan oleh Bapak Presiden di mana media elektronik atau dunia maya digunakan sebagai tempat melakukan kejahatan," lanjut dia.
Edward lalu menjelaskan awal mula UU ITE dibentuk mengacu kepada KUHP.
Ada sejumlah pasal dari KUHP yang kemudian dimasukkan dalam UU ITE.
Namun sayangnya pasal-pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut, sehingga berpotensi menjadi pasal karet alias multitafsir.
Baca juga: Bahas Jokowi Minta Dikritik, Mahfud MD Minta Hapus Istilah Cebong Vs Kadrun: Kurang Beradab
"Memang ketika undang-undang itu dibuat pada tahun 2008, itu mengambil sejumlah pasal dari KUHP kemudian dimasukkan ke dalam pasal 27, 28, dan 29," kata Edward.
"Memang tidak ada penjelasan lebih lanjut. Kemudian oleh aparat penegak hukum memang bisa multitafsir," jelasnya.
Edward menerangkan pasal-pasal yang bisa menimbulkan kebingungan adalah terkait definisi penghinaan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik.
Ia membandingkan dengan KUHP yang secara rinci menjelaskan definisi pidana tersebut.
Namun definisi itu disusutkan ketika masuk dalam UU ITE.