TRIBUNWOW.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi menandatangani hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Hukuman tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 yang ditandatangi oleh Jokowi pada 7 Desember 2020 lalu.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik mengaku tidak sependapat dengan hukuman kebiri tersebut.
Baca juga: Jokowi Sahkan PP Kebiri Kimia bagi Predator Seks, Begini Beda Respos Komnas PA dan Komnas Perempuan
Baca juga: Pendapat Psikolog Forensik soal Kebiri Kimia Predator Anak, Sebut Berpeluang Buat Pelaku Makin Ganas
Dilansir TribunWow.com dalam acara Apa Kabar Indonesia Malam, Senin (4/1/2021), Ahmad Taufan mengatakan hukuman kebiri tidak sejalan dengan prinsip Hak Azasi Manusia (HAM).
"Komnas HAM memang posisinya sejak awal tidak bersependapat dengan ide pengebirian kimiawi ini karena kami mendasarkan kepada prinsip-prinsip hak asasi manusia," ujar Taufan Damanik.
Dirinya menegaskan bahwa dalam penanganan hukum, pihaknya mengusahakan menggunakan langkah-langkah yang lebih manusiawi.
"Yang kita sudah ratifikasi misalnya konvensi anti penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi, perendahan martabat manusia," kata Taufan Damanik.
"Dengan dasar itu kami menganggap bahwa ide ini sebetulnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia (HAM)," tegasnya.
Meski begitu, ia membantah ketika sikapnya tersebut disebut medukung tindakan kekerasan seksual terhadap anak dan tidak peduli terhadap korban.
"Tetap tidak berarti Komnas HAM tidak peduli soal kekerasan seksual," ungkapnya.
"Bahkan kami juga termasuk yang mendukung supaya Undang-undang kekeresan seksual yang diajukan oleh akvitas perempuan, termasuk Komnas Perempuan itu untuk segera diundang-undangkan," jelas Taufan Damanik.
"Apalagi kalau korbannya anak-anak, itu kejahatan yang serius."
Baca juga: Dukung Hukuman Kebiri Kimia Predator Anak, Ahmad Sahroni: Sudah Untung Sekarang Bukan Kebiri Potong
Lebih lanjut, Taufan Damanik menegaskan bahwa hukuman
"Tetapi sekali lagi filosofi dalam menjalankan hukum pidana kita mestinya tidak dalam konteks pembalasan dendam atau emosional karena kami melihat ada kesan itu," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke-
Komnas PA Sambut Baik Hukuman Kebiri: Perspektifnya Perlindungan Anak
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait memberikan tanggapan terkait pemberlakuan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Hukuman tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 yang ditandatangi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 7 Desember 2020 lalu.
Selain dilakukan kebiri, pelaku predator seksual terhadap anak juga akan dilakukan pemasangan alat pendekteksi elektronik atau chips hingga pengungkapan identitas pelaku.
Dilansir TribunWow.com dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi 'tvOne', Senin (4/1/2021), Arist mengaku memberikan sambutan positif atas hukuman tersebut.
Menurutnya hukuman kebiri akan memberikan efek jera sehingga bisa menyelamatkan nasib anak-anak Indonesia dari para predator seksual.
Baca juga: Isi PP yang Diteken Jokowi soal Kebiri Kimia untuk Predator Seksual Korban Anak, Dilakukan 2 Tahun
"Dengan ditandatanginya PP 70 Tahun 2020 ini adalah hadiah untuk anak-anak Indonesia dan hadiah juga untuk para pekerja perlindungan anak di Indonesia," kata Arist.
"Karena ini sudah ditunggu-tunggu lama," imbuhnya.
"Jadi sekali lagi Komnas Perlindungan Anak mengucapkan kepada Presiden Republik Indonesia yang akhirnya pada tanggal 7 Desember kemarin menandatangani Peraturan Pemerintah sebagai implementasi dari Undang-undang 17 Tahun 2016," jelasnya.
Meski begitu hukuman kebiri masih menimbulkan pro dan kontra.
Mereka yang tidak setuju menilai hukuman kebiri melanggar hak hidup seseorang.
Terkait munculnya pro dan kontra terkait hukuman kebiri tersebut, Arist meminta kepada semua pihak untuk melihatnya dari perspektif perlindungan anak.
Dirinya tidak ingin jika perspektifnya justru malah pada pelaku kekerasan seksual.
"Saya kira ini perspektifnya itu jangan perspektifnya (pelaku) punya hak hidup dan sebagainya," ungkap Arist.
"Orang yang melakukan itu punya hak hidup apakah korbannya juga tidak mempunyai hak hidup."
"Perdebatannya bukan soal bahwa ini adalah melanggar kode etik kesehatan tapi perspektifnya perlindungan anak," tegasnya menutup.
Simak videonya mulai menit ke- 1.27
(TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)