TRIBUNWOW.COM - Korban ledakan dahsyat yang mengguncang ibu kota negara Lebanon, Beirut, Selasa (4/8/2020) terus bertambah.
Namun, para pasien korban ledakan tersebut tak bisa sepenuhnya mendapat perawatan medis.
Selain karena sejumlah rumah sakit rata dengan tanah akibat ledakan, fasilitas kesehatan juga tak dapat beroperasi lantaran padamnya listrik di kota tersebut.
• Kemarahan Warga Lebanon Memuncak Pasca-Ledakan di Beirut, Pejabat Pemerintah Saling Lempar Kesalahan
• Kronologi Keberadaan Amonium Nitrat Diduga Penyebab Ledakan Beirut Lebanon, Disita dari Kapal Rusia
Dilansir The New York Times, Rabu (5/8/2020), beberapa rumah sakit Beirut hancur pada saat-saat yang sangat dibutuhkan.
Dua rumah sakit, sekitar setengah mil dari ledakan, sangat rusak sehingga harus ditutup sama sekali.
Ledakan itu juga menewaskan empat perawat dan sedikitnya 13 pasien di Rumah Sakit Saint George University Medical Center.
Sementara itu di Rumah Sakit des Soeurs du Rosaire, seorang perawat terbunuh dan perawat yang menjalankan ruang operasi mengalami dua patah kaki.
“Semua lift rusak, semua respirator, semua monitor, semua pintu, semuanya hancur,” kata Dr. Joseph Elias, kepala departemen kardiologi di Rumah Sakit des Soeurs du Rosaire.
Sebuah gudang yang menyimpan banyak pasokan obat-obatan Lebanon juga diyakini telah hancur terkena ledakan.
Bahkan rumah sakit yang masih berfungsi sebagian harus mengevakuasi area yang rusak akibat ledakan, dan beberapa mengatakan mereka tidak dapat menerima pasien baru karena sudah kewalahan.
Orang-orang terlempar dari tempat tidur atau kaki mereka karena gelombang ledakan, dan terluka oleh pecahan kaca, furnitur, dan puing-puing.
Listrik yang padam membuat lampu dan lift tidak berfungsi, memaksa pasien dan staf rumah sakit untuk mencari jalan melalui puing-puing dan menuruni tangga dalam kegelapan.
Ketika mereka keluar dari gedung-gedung, mereka bertemu dengan kerumunan orang-orang yang terluka yang mencoba masuk.
Sejumlah rumah sakit terdampak terpaksa memindahkan pasien mereka ke rumah sakit yang tidak rusak di tempat lain.
Mereka sebisa mungkin merawat yang terluka parah di koridor dan tempat parkir, sambil menolak orang lain yang berdatangan.
"Sebelumnya kami hampir tidak berfungsi dan sekarang kami berada di bawah tanah, di bawah nol," kata Tony Toufic, seorang insinyur Rumah Sakit St. George.
• Kabar Gembira dari Nadiem Makarim di Mata Najwa: Dana BOS Bisa Digunakan Beli Pulsa Guru dan Murid
Dia sedikit berharap adanya bantuan dari pemerintah Lebanon yang disfungsional.
Seorang perawat di St. George mengambil tiga bayi prematur dari unit perawatan intensif neonatal untuk dibawa ke tempat aman.
Seorang jurnalis foto, Bilal Jawich, mengambil foto perawat , yang belum diidentifikasi secara publik tersebut.
Setelah ledakan, Dr. Joseph Haddad, direktur perawatan intensif di Saint George, bergegas ke rumah sakit, berharap akan sibuk menjahit pasien dan menyelamatkan nyawa, tetapi dia menemukannya di reruntuhan.
"Para pasien datang menuruni tangga," kata Haddad.
"Mereka berjalan turun dari ketinggian sembilan lantai," imbuhnya.
Hingga saat ini, total korban meninggal akibat ledakan dahsyat tersebut dicatat sebanyak 135 jiwa dengan 5.000 lainnya luka-luka.
Sementara itu, kerugian diperkirakan mencapai hingga hingga 15 miliar dollar atau sekitar Rp 200 triliun.
• Disebut Jadi Penyebab Ledakan di Beirut Lebanon, Ternyata Amonium Nitrat Punya Manfaat bagi Manusia
• Kesaksian Sejumlah Korban Ledakan di Beirut Lebanon, Tiba-tiba Bersimbah Darah saat Sedang Memancing
Kemarahan Warga Lebanon Memuncak
Masyarakat Lebanon meminta pertanggungjawaban pemerintah lantaran dinilai lalai hingga berujung pada ledakan dahsyat di Beirut, Rabu (5/8/2020).
Sejumlah warga yang menjadi korban ledakan tersebut menuntut jawaban atas penyimpanan bahan kimia berbahaya yang diduga menjadi penyebab ledakan.
Mereka menuntut penjelasan dari pemerintah dan penyelidikan dengan segera terkait penyebab ledakan yang telah menewaskan 135 orang dan mengakibatkan 5000 lainnya terluka.
Dilansir Al Jazeera, Kamis (6/8/2020), Pemerintah mengumumkan bahwa mereka yang bertanggung jawab dalam penjagaan dan pengamanan di pelabuhan Beirut akan ditempatkan di bawah tahanan rumah.
Menurut Gubernur Beirut Marwan About, kerusakan akibat ledakan, yang oleh para pejabat dikaitkan dengan sekitar 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di pelabuhan, mungkin bernilai hingga 15 miliar dollar (sekitar Rp 200 triliun).
Saat puing-puing dibersihkan, kemarahan masyarakat memuncak setelah terungkap informasi bahwa para pemerintah mengetahui material yang sangat mudah menguap itu disimpan di pelabuhan Beirut selama lebih dari enam tahun.
Banyak orang Lebanon yang marah menuntut pertanggungjawaban dan jawaban tentang bagaimana dan mengapa 2.750 ton bahan yang sangat mudah meledak disimpan di dekat pemukiman Beirut.
Hanya sedikit orang Lebanon merasa yakin mereka akan melihat keadilan atas bencana terbaru ini dalam sejarah negara itu.
Banyak dari mereka sangsi dan menunjuk pada kurangnya pertanggungjawaban resmi untuk periode korupsi yang merajalela dan salah urus di tahun-tahun setelah perang saudara di negara itu.
Sementara itu, tagar media sosial paling trending di Lebanon pada hari Rabu (5/8/2020) adalah # علقوا_المشانق, atau "#gantung jeratnya".
Tagar tersebut mewakili kemarahan masyarakat Lebanon yang meminta agar pihak-pihak bertanggung jawab untuk ledakan tersebut segerqa dihukum.
"Antara mereka terus membunuh kita atau kita membunuh mereka," ujar Ramez al-Qadi, seorang pembawa acara TV terkemuka Lebanon.
Ketika kemarahan pada sejumlah pejabat pembuat keputusan negara itu meningkat, para petinggi negara justru saling lempar kesalahan.
Beberapa berusaha untuk mengalihkan kesalahan ke cabang lain negara termasuk pada peradilan Lebanon yang dinilai enggan melakukan tindakan meski mendapat laporan.
Menteri Pekerjaan Umum Michel Najjar mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia hanya mengetahui keberadaan bahan peledak yang disimpan di pelabuhan Beirut 11 hari sebelum ledakan.
"Tidak ada menteri yang tahu apa yang ada di hanggar atau kontainer, dan bukan tugas saya untuk tahu," kata Najjar.
Diketahui, manajemen pelabuhan telah dibagi antara berbagai otoritas.
Otoritas pelabuhan menjalankan operasi pelabuhan, dan pekerjaannya diawasi oleh kementerian pekerjaan umum dan transportasi.
Badan pabean Lebanon secara nominal mengendalikan semua barang yang masuk dan keluar negara itu, sementara badan keamanan Lebanon semuanya memiliki pangkalan di pelabuhan.
Najjar mengatakan pihaknya sempat menindaklanjuti masalah penyimpanan amonium nitrat tersebut.
Tetapi pada akhir Juli, pemerintah Lebanon memberlakukan lockdown di tengah peningkatan kasus Covid-19.
Akibatnya, Najjar akhirnya baru bisa berbicara dengan manajer umum pelabuhan, Hasan Koraytem, pada hari Senin (3/8/2020).
Dia mengatakan telah meminta Koraytem untuk mengirimkan semua dokumentasi yang relevan, sehingga dia bisa menyelidiki masalah tersebut.
Keesokan harinya, tepat setelah jam 6 sore (15:00 GMT), sebuah gudang yang diduga menyimpan ampnium nitrat di pelabuhan itu meledak, menghancurkan pelabuhan dan sebagian besar kota Beirut.
Najjar mengatakan dia mengetahui pada hari Rabu (5/8/2020) bahwa kementeriannya telah mengirim setidaknya 18 surat kepada hakim masalah mendesak Beirut sejak 2014, meminta barang untuk dibuang.
"Pengadilan tidak melakukan apa-apa. Itu kelalaian," kata Najjar.
Tetapi Nizar Saghieh, seorang ahli hukum Lebanon terkemuka dan pendiri Agenda Legal LSM tak setuju dengan hal tersebut,
"Tanggung jawab hukum utama di sini adalah pada mereka yang ditugaskan untuk mengawasi pelabuhan, otoritas pelabuhan dan kementerian pekerjaan umum, serta Bea Cukai Lebanon," terang Saghieh.
"Ini jelas tidak tergantung pada hakim untuk menemukan tempat yang aman untuk menyimpan barang-barang ini," imbuhnya. (TribunWow.com/ Via)