"Modalnya ada dua. Pertama, Solo merupakan basisnya PDIP," jelas M Qodari.
"Super basis malah, karena Jawa Tengah kita kenal sebagai 'kandang banteng', lalu ada pusatnya lagi yaitu Kota Solo," lanjutnya.
Ia mengibaratkan Kota Solo sebagai 'kandang banteng', sesuai lambang PDIP.
M Qodari memberi contoh wilayah Jawa Tengah menjadi lumbung suara pada pemilihan 2019 lalu, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.
"Bukti bahwa itu adalah 'kandang banteng' pusatnya PDIP, di tahun 2019 dalam pemilu legislatif PDIP mampu meraih 30 dari 45 kursi alias 67 persen," kata Qodari.
"Dalam pilpres kemarin pun bisa memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin 82 persen," lanjutnya.
Hal ini menjadi faktor pertama yang mendukung Gibran maju sebagai bakal calon wali kota.
"Jadi menurut saya modal pertama Gibran sebagai calon Wali Kota Solo adalah kekuatan PDIP sebagai mesin politik," jelas pengamat politik tersebut.
• Bandingkan Karier Politik Gibran dan Puan Maharani, Refly Harun: Tak Perlu Berkeringat
Qodari kemudian menyinggung Kota Solo di era kepemimpinan Jokowi.
Menurut dia, Jokowi berhasil dan memiliki citra yang baik di mata masyarakat Kota Solo.
"Yang kedua, citra atau image Pak Jokowi sebagai wali kota yang berhasil di Kota Solo," papar Qodari.
"Saya tidak menyebut reputasi sebagai presiden karena kita bicara Kota Solo. Yang relevan adalah apa yang dirasakan warga Solo ketika Pak Jokowi menjadi Wali Kota Solo," lanjutnya.
Ia menilai hal ini menjadi faktor penting.
Jika Jokowi tidak berhasil memimpin Kota Solo saat itu, maka kemungkinan masyarakat tidak akan percaya dengan Gibran.
"Walaupun Pak Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia, tapi kalau dulu dianggap gagal, maka biasanya anak kepala daerah kalau maju dia akan gagal," jelas Qodari.