TRIBUNWOW.COM - Perjalanan puluhan pengungsi Rohingya dari Bangladesh menuju Malaysia harus kandas setelah mereka terdampar di Aceh Utara, pada 23 Juni lalu.
Di balik perjalanan itu tersimpan kisah kelam yang mengindikasikan perbudakan modern.
Beberapa pengungsi mengaku pergi melalui kaki tangan agen dan harus bekerja seumur hidup untuk melunasi utang perjalanan.
Salah satunya, Muhammad Yusuf.
• Wali Kota Tangerang Bolehkan Salat Idul Adha 2020 di Lapangan: Jangan Dipaksa di Masjid kalau Penuh
Muhammad Yusuf berasal dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Di sana, anak kedua dari 14 bersaudara ini bekerja sebagai tukang becak untuk membantu ekonomi keluarga.
Namun, pada 2008 dia kabur setelah dua adiknya meninggal saat terjadi konflik dengan tentara pemerintah Myanmar.
Rangkaian kekerasan di sana disebut oleh penyelidik PBB sebagai "contoh sempurna pembersihan etnis".
Sebagaimana para pengungsi Muslim Rohingya lainnya, Yusuf menuju Bangladesh.
Negara itu memberi tempat penampungan bagi komunitas Rohingya, yang kini menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.
Sekitar satu juta etnis Rohingya berada di Cox's Bazar.
"Saya lari ke Bangladesh untuk bekerja serabutan seperti menjadi tukang cuci pada warung-warung," kata Muhammad Yusuf melalui penerjemah.
• HH Terlibat Prostitusi Online di Sejumlah Kota sejak Setahun Lalu, Sebut Muncikari Tak Hanya Satu
Di kamp pengungsian dia tidak dapat melakukan apapun, cuma bisa makan seadanya, sementara kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan masih jauh dari kata yang layak.
Apalagi mereka sekeluarga berjumlah cukup banyak.
Kondisi ini yang melatari ia dan orang Rohingya lain ingin keluar dari kamp dan mencari pekerjaan ke seberang lautan.