Virus Corona

Minta Tak Pakai Istilah 'New Normal', Pandu Riono Nilai Jadi Rancu: Seperti Naik Motor Pakai Helm

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Atri Wahyu Mukti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Epidemiologi Pandu Riono meminta istilah new normal tidak digunakan, dalam ILC, Selasa (9/6/2020).

TRIBUNWOW.COM - Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono meminta pemerintah berhati-hati menggunakan istilah new normal.

Menurut Pandu, istilah tersebut dapat ditangkap rancu oleh masyarakat.

Seperti diketahui, new normal disebut sebagai cara hidup baru setelah mengenal pandemi Virus Corona (Covid-19).

Persiapan new normal di Tunjungan Plaza, Kota Surabaya, Jawa Timur dengan memasang tanda one way, Jumat (29/5/2020). (Surya/Ahmad Zaimul Haq)

 

Bahas Aktivitas Masjid di New Normal, Moeldoko: Tak Pernah Ada Paradoks antara Mal dan Tempat Ibadah

Dilansir TribunWow.com, Pandu Riono membahas hal ini dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TvOne, Selasa (9/6/2020).

Awalnya, ia menyoroti peran perilaku masyarakat dalam membantu menekan pertumbuhan kasus Covid-19 baru.

"Kalau setiap orang menggunakan masker, bisa sampai sepersepuluhnya terhadap risiko penularan," kata Pandu Riono.

Tidak hanya tentang menggunakan masker, Pandu juga menekankan pentingnya mencuci tangan dan jaga jarak.

"Kemudian kalau ditambah dengan physical distancing, ditambah dengan mencuci tangan," paparnya.

"Tangan kita ini adalah faktor terbesar dari banyak penyakit, termasuk virus," tambah Pandu.

Pandu menyebutkan protokol tersebut bertujuan menekan risiko terendah penularan virus.

Apabila protokol itu sudah diterapkan sungguh-sungguh, maka masyarakat mulai dapat kembali menjalani hidup seperti biasa.

"Kalau kita mempunyai perilaku yang aman, maka kita menjadi kebiasaan, itu kita bisa kembali dalam kehidupan sehari-hari," jelas Pandu.

"Tentunya dengan masalah-masalah yang harus kita terapkan dan menjadi terbiasa," lanjutnya.

Ia kemudian membahas isu new normal yang santer dibicarakan saat pandemi Virus Corona.

"Menurut saya kita memasuki norma baru," ungkap pakar Epidemiologi ini.

Kritik New Normal Terlalu Cepat, Pengamat Trubus Sebut PSBB Jadi Rancu: Tidak Bisa Ujug-ujug

Meskipun telah banyak dibicarakan, Pandu Riono menyebutkan sebaiknya tidak menggunakan istilah new normal.

"Ini bukan mengistilahkan, tapi janganlah menggunakan norma normal baru," kata Pandu.

"Seakan-akan normal lama. Jadi suatu perilaku, lah," jelasnya.

Ia memberi contoh kebiasaan memakai helm pada pengendara motor.

Menurut Pandu, pengendara motor kini sudah lazim memakai helm karena pelan-pelan sudah dibiasakan dari dulu.

"Seperti dulu kalau kita naik motor tidak menggunakan helm, orang kini harus pakai helm. Atau pakai seatbelt," paparnya.

"Bahkan kalau kita naik pesawat terbang pun selalu diingatkan bagaimana cara pakai seatbelt," lanjut Pandu.

Penggunaan helm atau sabuk pengaman tersebut bertujuan menjaga pengendara tetap aman.

Berangkat dari contoh itu, Pandu Riono menyamakan dengan memakai masker atau mencuci tangan sebagai langkah preventif dalam masa pandemi.

"Itu adalah perilaku-perilaku yang untuk menjaga kita mengurangi risiko-risiko kalau terjadi bahaya," kata Pandu.

"Kita ini dalam keadaan bahaya. Tidak ada yang aman," tambahnya.

Bantah Pemerintah Pusat, Walkot Malang Sutiaji Kritik Makna New Normal: Saya Pakai Standar WHO

Lihat videonya mulai menit 5.30:

Tanggapan Pengamat Kebijakan Publik

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai kebijakan new normal terlalu cepat diluncurkan.

Menurut Trubus, seharusnya ada edukasi menyeluruh untuk membentuk perilaku masyarakat dalam melakukan protokol kesehatan.

Seperti diketahui, new normal disebut sebagai cara hidup baru setelah adanya pandemi Virus Corona (Covid-19).

• Bantah Pemerintah Pusat, Walkot Malang Sutiaji Kritik Makna New Normal: Saya Pakai Standar WHO

Dilansir TribunWow.com, hal itu disampaikan Trubus dalam acara Dua Arah di Kompas TV, Senin (8/6/2020).

Awalnya, ia mengomentari perbedaan pengertian pembatasan sosial berskala besar (PSBB) antara pemerintah pusat dengan daerah.

"Justru ada kendalanya di situ," kata Trubus Rahardiansyah.

Ia juga menyoroti kriteria standar new normal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO).

Sebelumnya hal tersebut disinggung Wali Kota Malang Sutiaji saat membahas penerapan PSBB di wilayahnya.

Trubus menilai masyarakat tidak bisa langsung bersikap disiplin sesuai standar yang ditentukan, tetapi harus melalui proses.

"Bagaimana juga orang bisa langsung berperilaku sebagaimana yang diharapkan dalam konteks WHO?" tanya Trubus.

"Perilaku masyarakat itu 'kan tidak bisa ujug-ujug. Ada tahapan di mana kemudian masyarakat punya pemahaman yang utuh," tambahnya.

Trubus kemudian mengomentari penerapan PSBB yang diserahkan kepada wewenang kepala daerah masing-masing.

Ia menyebutkan hal itu menimbulkan hasil dalam tiap penerapan PSBB menjadi berbeda.

Menurut Trubus, seharusnya PSBB diseragamkan agar tidak menjadi rancu.

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai masyarakat harus diedukasi terlebih dulu sebelum memulai new normal, dalam acara Dua Arah, Senin (8/6/2020). (Capture YouTube Kompas TV)

• Tak Mau Buru-buru Terapkan New Normal, Ganjar Ungkap Kewajiban Baru Warga: Jangan Salah Persepsi

"Tentunya jadi berbeda kalau memang kebijakannya berbeda," komentar Trubus.

"Kalau misalnya kita lihat daerah yang menerapkan PSBB dengan daerah yang tidak menerapkan PSBB dikatakan sama, otomatis nanti cara berpikirnya jadi rancu," lanjutnya.

Ia menyinggung daerah yang masih masuk zona merah tetapi sudah mulai melonggarkan PSBB.

"Menurut saya yang menerapkan PSBB ini karena daerah merahnya masih banyak," ungkap Trubus.

"Jadi kalau PDP dan ODP-nya masih tinggi seperti DKI Jakarta, ada 66 RW yang masih tinggi sekali, tidak mungkin kita langsung menerapkan kebebasan sebebas-bebasnya," lanjutnya.

Trubus menekankan penting untuk mengedukasi masyarakat terlebih dulu sebelum benar-benar menerapkan new normal.

"Masyarakat 'kan harus diedukasi dan dibimbing dulu," ungkap Trubus.

"Menurut saya membentuk perilaku itu tidak bisa ujug-ujug perilaku yang sudah menjadi budaya. Ada proses dulu, sosialisasi dulu," jelasnya. (TribunWow.com/Brigitta Winasis)