Bukan hanya soal iuran, di tahun mendatang terdapat peningkatan denda bagi peserta yang sempat tidak aktif dan menunggak.
Denda yang dikenakan menjadi 5% di 2021, padahal sebelumnya denda hanya 2,5%.
Timboel pun turut menyoroti hal lain yang diatur dalam aturan ini.
Pasalnya, untuk iuran PBPU dan PBI kelas III, di tahun ini peserta membayar Rp 25.500 per orang per bulan, sementara sisanya sebesar Rp 16.500 akan dibayar oleh pemerintah pusat sebagai bantuan iuran.
Lalu, untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya, peserta membayar Rp 35.000 per orang per bulan, lalu Rp 7.000 akan dibayar oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai bantuan iuran.
Menurut Timboel, pemerintah sudah melanggar ketentuan UU SJSN, dimana pemerintah membayar iuran JKN rakyat miskin.
"Tetapi di Perpres 64 ini kelas III mandiri yaitu PBPU dan BP disubsidi Rp 16.500 oleh Pemerintah sejak 1 Juli 2020.
Bahwa ada peserta PBPU dan BP yang mampu tetapi iurannya disubsidi pemerintah," kata Timboel.
Disebut Menentang Hukum
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri kepada Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
Jokowi diketahui menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, pada akhir Februari 2020, MA membatalkan kenaikan tersebut.
Menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.