TRIBUNWOW.COM - Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko mengungkap pengalamannya saat masih menjabat sebagai Panglima TNI.
Moeldoko mengaku pernah membuat duta besar China sampai memohon-mohon padanya.
Dilansir TribunWow.com, Moeldoko pun mengimbau pemerintah China untuk tak main-main pada perairan Natuna.
Diketahui, China mengklaim perairan Natuna atas dasar nine dash line.
• Kemungkinan Angkatan Laut Indonesia Keluarkan Tembakan untuk Kapal China di Natuna
• Soal Konflik Natuna, Moeldoko Enggan Lakukan Negosiasi dengan China: Tak Ada Kata-kata Rundingan
Hal itu pun memicu konflik dengan pemerintah Indonesia.
Hal itu disampaikannya melalui tayangan YouTube Talk Show tvOne, Senin (6/1/2020).
Mulanya, Moeldoko menyinggung perselisihan serupa yang pernah dialami Indonesia dengan Filipina.
"Pada saat ada dispute (perselisihan -red) dengan Filipina, akreditasi internasional tidak mengakui," ucap Moeldoko.
Ia pun menyinggung klaim China atas perairan Natuna.
Klaim itu dilakukan China atas dasar nine dash line.
"Nine dash line itu tidak diakui oleh Internasional," ujar Moeldoko.
Menurutnya, pemerintah Indonesia tak perlu berunding dengan China untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sebab, perairan Natuna adalah resmi milik Indonesia.
"Dan kita tidak punya dispute area, kita tidak perlu bernegosiasi, berunding, enggak ada kata-kata rundingan," ucap Moeldoko.
"Karena kita tidak ada dispute di situ."
Lantas, Moeldoko menceritakan kejadian serupa yang terjadi saat dirinya masih menjabat sebagai Panglima TNI.
"Untuk itu saya yakinkan pada saat saya menjadi panglima pada China, 'Anda punya dispute area enggak?'," ucap Moeldoko.
"Dia katakan tidak."
• Pakar Hukum Internasional Beri Saran Prabowo Subianto: Datangi Natuna Secara Langsung, Adakan Rapat
Kala itu, terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan China.
Moeldoko yang kala itu menjabat di TNI pun tak tinggal diam.
"Saya punya pengalaman ini, perlu dicatat juga, ada pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan China dan kita tangkap waktu itu," kata Moeldoko.
"Akhirnya apa yang dilakukan duta besar China?"
Disebutnya, waktu itu duta besar China bahkan memohon-mohon pada Moeldoko agar melepaskan nelayan yang ditangkap.
"Mohon-mohon, 'Mohon panglima kapal ini bisa dilepas'," ucapnya.
" 'Entar dulu, tidak semudah itu, saya tahan dulu melalui berbagai pertimbangan-pertimbangan itu saya bisa lepaskan'," imbuh Moeldoko.
Berdasar pengalaman tersebut, Moeldoko mengimbau Panglima TNI yang kini untuk bertindak tegas.
Ia menyebut klaim China atas perairan Natuna tak dapat dibiarkan.
"Maknanya apa? Kita harus lakukan tindakan, tidak boleh kita biarkan," ujarnya.
"Karena ini bagian dari wilayah kita yang secara hukum internasional diberikan hak untuk mengelola."
Lebih lanjut, Moeldoko memberikan wanti-wantinya pada pemerintah China untuk tak coba-coba mempermainkan Indonesia.
Menurutnya, perairan Natuna adalah milik Indonesia dan tak dapat diganggu gugat.
"Jadi jangan coba-coba menganggu kami untuk mengelola itu, itu hak kami," ujar Moeldoko.
"Gitu loh kira-kira."
Lantas, Moeldoko pun menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal konflik Natuna.
Jokowi disebutnya melarang diadakannya negosiasi dengan pemerintah China.
"Jadi Pak Predisen mengatakan tidak ada tawar menawar, dan tidak ada negosiasi," ujarnya.
"Enggak perlu negosiasi, dilarang negosiasi kalau menurut saya harus tegas."
Simak video berikut ini dari menit awal:
Edhy Prabowo Tak Tegas?
Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana menyebut kebijakan di era Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, justru melunak.
Diketahui, Edhy Prabowo sempat mengatakan tak akan menenggelamkan kapal yang melewati tanpa izin dan mencuri ikan di perairan Indonesia.
Dilansir TribunWow.com, terkait hal itu, Hikmahanto Juwana lantas menyebut kebijakan itu justru menyenangkan pemerintah China.
Hal itu dilakukan setelah sejumlah kapal China diketahui berada di perairan Natuna tanpa izin.
"Tapi menurut saya ini satu hal, tidak perlu kemudian TNI kita seolah-olah mau siap-siap perang," kata dia dikutip dari YouTube metrotvnews, Minggu (5/1/2020).
"Karena ini bukan masalah kedaulatan yang dilanggar. Tapi ini hak berdaulat."
• Soal Konflik Natuna, Moeldoko Enggan Lakukan Negosiasi dengan China: Tak Ada Kata-kata Rundingan
Ia menambahkan, terdapat perbedaan antara berdaulat dengan hak berdaulat.
"Bedanya kalau kedaulatan itu kita kalau ada kapal asing berhak untuk meminta dia keluar, karena ini di wilayah kedualatan ," ujar Hikmahanto.
"Tapi kalau hak berdaulat itu kita bicara soal sumber daya alam."
"Jadi kalau misalnya kedaulatan itu 12 mil dari titik terluar, tapi kalau hak berdaulat itu 200 mill."
Hikmahanto menjelaskan, kapal asing dianggap melakukan pencurian ikan jika melewati batas tersebut.
"Artinya ikan-ikan di situ ditangkap tanpa persetujuan dari Indonesia maka kita menganggap illegal fisihing," ujarnya.
"Itu yang kemudian ditangkap."
Ia menambahkan, hal itu perlu dipahami oleh masyarakat Indonesia.
"Tapi bukan untuk kemudian tanda kutip mungkin yang dipersepsikan oleh publik juga untuk dipertahankan oleh TNI kita," kata Hikmahanto.
"Karena hak berdaulat itu di laut lepas, tidak boleh ada kedaulatan di situ."
• Pakar Hukum Internasional Ungkap Motif Kapal China Masuk di Natuna, Singgung Wajah Baru di Kabinet
Lantas, Hikmahanto pun menyinggung kebijakan Edhy Prabowo yang enggan menenggelamkan kapal asing pencuri ikan.
"Betul sekali, jangan sampai nanti pemerintah China atau masyarakat China tertawa," kata Hikmahanto.
"Seolah-olah Indonesia ini tidak bisa membedakan antara kedaulatan dengan hak berdaulat."
Hikmahanto menambahkan, kebijakan Edhy Prabowo itu menguntungkan pemerintah China.
Namun, malah merugikan pemerintah Indonesia.
Ia menilai, kebijakan Edhy Prabowo itu tak tegas.
"Itu yang harusnya sinyal baik untuk China, tapi sinyal enggak baik di Indonesia, seolah-olah sudah lunak," ujar dia.
Permyataan Hikmahanto itu pun langsung ditanggapi oleh sang presenter.
"Sinyal baik untuk pencuri ikan tapi sinyal tidak baik bagi Indonesia gitu ya?," tanya presenter.
"Iya betul," jawab Hikmahanto. (TribunWow.com/Jayanti Tri Utami)