"Code of Conduct itu berisi pengaturan bersama bagaimana berperilaku di kawasan yang ada pulau-pulau yang disengketakan," ujar Aleksius Jemadu kepada BBC News Indonesia.
"Seandainya China setuju, mungkin akan mencegah suatu tindakan sepihak yang merugikan kepentingan negara lain."
"Itu salah satu harapan yang bisa kita pegang," sambungnya.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus membenahi komunikasi internalnya agar tidak dianggap ambigu.
Sebab, kata dia, pernyataan Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan, memberi kesan Indonesia tidak tegas.
"Para pemimpin ini harus bertemu bagaimana menyikapi ini dan mempertimbangkan pilihan yang ada."
"Presiden Jokowi harus secepatnya mengambil inisiatif berbicara dengan Xi Jinping. Buka peluang itu untuk meniadakan konflik," tukasnya.
• Soal Klaim Natuna, China Disebut Sedang Menguji Reaksi Pejabat Baru Kabinet Jokowi-Maruf Amin
Konflik tak berujung di perairan Natuna
Insiden antara Indonesia dengan China di Natuna utara tak berkesudahan. Pada 2016, konflik terjadi setelah awak kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menangkap KM Kway Fey 10078 yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna.
Namun saat kapal patroli Indonesia tengah menggiring kapal nelayan milik China ke wilayah Indonesia, muncul kapal penjaga perbatasan China.
Pasca kejadian itu, Kementerian Luar Negeri RI melayangkan nota protes.
Sekretaris kabinet kala itu, Pramono Anung, menyebut insiden di perairan Natuna sudah selesai setelah bertemu dengan delegasi China.
"Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap kesalahpahaman," ujar Pramono Anung seperti dilansir Kompas.com, (13/04/2016).
Kemudian pada 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman membuat peta baru yang mengganti nama di kawasan perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara.
Pemerintah berdalih pergantian nama diperlukan untuk mengurai ketidakjelasan batas wilayah dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.