Hukuman Mati Koruptor

Polemik Hukuman Mati untuk Koruptor, Aktivis AntiKorupsi Saor Siagian Nilai Tidak Tepat

Penulis: Fransisca Krisdianutami Mawaski
Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tanggapan Saor Siagian soal pernyataan presiden mengenai hukuman mati koruptor

TRIBUNWOW.COM - Perbincangan tentang hukuman mati untuk para koruptor masih ramai di tengah masyarakat.

Sejumlah pihak pun turut mengomentari hal ini termasuk aktivis antikorupsi Saor Siagian seperti yang dikutip dari tayangan Sapa Indonesia Malam, Rabu (11/12/2019).

Menurut Saor, hukuman mati untuk para koruptor saat ini belum tepat untuk dilaksanakan.

 

Presiden Jokowi Sebut Hukuman Mati Belum Ada di UU, PKS: Jangan Hanya Retorika Saja Ya

Hal ini dikarenakan politik hukum negara terjadi sebaliknya.

"Contoh misalnya negara dalam hal ini adalah tidak memfokuskan hanya eksekutif, tentu dalam konteks arti luas."

"Revisi undang-undang KPK misalnya, publik mengatakan jelas itu pelemahan," ujar Saor.

Ia menyebut setelah dilakukan revisi UU KPK tersebut, para terpidana koruptor diberi hukuman lebih ringan.

Saor kemudian memberikan contoh kasus akibat revisi UU KPK tersebut.

"Bahkan kemarin saudara Idrus Marham dari putusan lima tahun di pengadilan tinggi malah diputus menjadi dua tahun," papar Saor.

"Padahal filosofi putusan Mahkamah Agung ini bukan lagi menguji fakta, tetapi apakah penerapan hukum kepada terpidana tepat atau tidak kemudian itu diuji."

Saor juga sempat menyayangkan keputusan presiden untuk tidak menghadiri acara peringatan Hari AntiKorupsi di KPK.

"Saya itu kemarin mendorong presiden untuk ke KPK, karena beberapa kali pimpinan KPK minta ketemu, shake hand terakhir lah," katanya.

Ia kemudian menduga, pertanyaan yang diajukan oleh seorang siswa SMK tersebut soal hukuman mati merupakan hal  dari presiden.

"Saya khawatir apa yang ditanyakan oleh anak-anak ini merupakan spontan presiden, supaya kelihatan respon ya udah hukuman mati aja gitu," duga Saor.

Lihat video selengkapnya mulai menit ke 6.50:

 

Momen saat Jokowi Ditanya Siswa SMK soal Hukuman Mati bagi Koruptor

Persoalan hukuman mati pada koruptor ini mencuat ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri peringatan hari AntiKorupsi di SMK Negeri 47 Jakarta, Senin (9/12/2019).

Saat itu, seorang siswa SMK Negeri 57, Pasar Minggu, Jakarta bernama Harley Firmansyah diberikan kesempatan untuk bertanya sesuatu hal pada Presiden Jokowi.

Pertanyaan ini Harley sampaikan saat acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Senin (9/12/2019) lalu.

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Selasa (10/12/2019), ia memberanikan diri untuk bertanya soal hukuman tegas untuk para koruptor.

Ia menilai, saat ini hukuman untuk para koruptor di Indonesia kurang tegas.

"Kenapa kita tidak berani mengambil tindakan kayak di negara-negara maju seperti hukuman mati atau yang lain," tanya Harley pada Presiden Jokowi.

Sontak pertanyaan dari Harley itu mendapat tepuk tangan dari teman-temannya yang hadir dalam acara tersebut.

Jokowi pun menjawab pertanyaan yang diajukan Harley tersebut dan menjelaskannya.

Menurut Jokowi, saat ini Indonesia belum mempunyai sistem perundangan yang mengatur tentang hal tersebut.

"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan, tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," jawab Jokowi.

Disebut Omong Kosong

Hal ini kemudian ditanggapi oleh sejumlah pihak, satu di antaranya adalah peneliti Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Pukat UGM) Zaenur Rohman.

Menurut Zaenur, pernyataan Jokowi soal penerapan hukuman mati untuk koruptor hanya omong kosong belaka

Zaenur menilai selama ini Jokowi tak menunjukkan komitmen untuk pemberantasan korupsi.

"Ini adalah pernyataan kosong dari presiden untuk memperlihatkan seolah-olah presiden punya komitmen pemberantasan korupsi, padahal presiden sangat tak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi," kata Zaenur seperti yang dikutip dari Kompas.com, Selasa (10/12/2019).

Ia lalu menyebutkan contoh tidak adanya komitmen Jokowi baru-baru ini, yaitu soal pemberian grasi pada koruptor.

"Jangan kan komitmen, presiden malah permisif menurut saya, semakin longgar terhadap korupsi dengan berikan grasi terhadap Annas Maamun," ujar Zaenur.

Diketahui Jokowi mengabulkan grasi pada terpidana korupsi Annas Mammun dengan alasan kesehatan.

Zaenur menilai alasan tersebut tak kuat, ia mengatakan ada cara lain untuk menanggulangi masalah tersebut.

"Ini juga tak beralasan menurut saya, hanya karena sakit-sakitan justru seharusnya dijawab penanganan fasilitas kesehatan, kalau mau presiden peduli terhadap warga binaan di lapas," paparnya.

Saat ini yang terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah penguatan kinerja lembaga-lembaga penegakan antikorupsi seperti KPK serta Polri dan kejaksaan.

Menurut Zaenur, hal tersebut lebih penting daripada membicarakan soal hukuman mati.

"Justru yang dibutuhkan adalah lembaga-lembaga pemberantasan korupsi itu lah yang harus dibersihkan atau direvitalisasi."

"Siapa yang mau memberantas korupsi sekarang kalau KPK dipreteli kewenangannya? Tak ada kan," ucap dia. (TribunWow.com/Fransisca Mawaski)