Perppu UU KPK

Refly Harun Jelaskan Ada Pasal yang Sengaja Diselipkan di UU KPK, Sebut Adanya Monster Baru

Penulis: Roifah Dzatu Azma
Editor: Tiffany Marantika Dewi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara, Refky Harun menuturkan dalam Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi ada pasal yang sengaja diselipkan.

"Setelah dewan pengawas terbentuk, berarti KPK tidak flesksibel lagi melakukan proses penindakan, pertama izin penggeledahan, izin penyitaan, harus ke dewan pengawas, 1x24," paparnya kembali.

"Lalu nanti belum tentang ASN nya, kedudukan di bawah presidennya, dewan pengawasnya. Itu bisa memproses pelanggaran kode etik, tidak hanya KPK tapi juga pegawai," ujarnya.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bicarakan UU KPK. (YouTube tvOneNews)

Ia pun menyebut bahwa dewan pengawas sebagai monster baru.

"Maka kalau kita bicara chek and balance, maka dewan pengawas itu monster baru, yang unchek dan unbalance."

"Justru pimpinan KPK yang kemarin itu sebagai lembaga extra ordinary punya kekuasaan yang lumayan super powerfull sekarang dia subkoordinat dengan dewan pengawas," pungkasnya.

Lihat videonya dari menit ke 3.37:

UU KPK Resmi Berlaku

Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mulai berlaku Kamis (17/10/2019).

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Kamis (17/10/2019), peresmian berlaku UU KPK itu tanpa dibubuhi tanda tangan Presiden Jokowi.

Hal ini karena UU itu otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu.

Padahal, UU KPK dikritik sejumlah pihak tak terkecuali KPK sendiri.

UU KPK, dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.

Satu di antaranya mengenai dewan pengawas yang mana penyadapan harus seizin dewan pengawas.

Hal ini menurut KPK dapat mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan.

Petugas menunjukkan barang bukti berupa uang terkait operasi tangkap tangan (OTT) Kementerian Pemuda dan Olahraga ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018). KPK menetapkan lima orang tersangka yakni Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy, Deputi IV Kemenpora, Pejabat pembuat komitmen Kemenpora AdhinPurnomo, dan Staf Kemenpora Eko Triyatno serta mengamankan barang bukti Rp 7,318 Miliar terkait penyaluran bantuan Kemenpora kepada KONI tahun anggaran 2018. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Bahas soal Dewan Pengawas di UU KPK, Mahfud MD Sindir DPR: Pintar Tuh Nambahin Pasal di Tengah Malam

Selain itu, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Halaman
123