TRIBUNWOW.COM - Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (LSP) Ali Mochtar Ngabalin menjelaskan mengapa Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menjadi sasaran penusukan.
Ali Ngabalin membongkar fakta bahwa teroris menyasar Wiranto bukan karena siapa dirinya, namun karena persoalan ideologi.
Dilansir TribunWow.com, hal tersebut diungkapkan Ali Ngabalin dalam tayangan unggahan kanal YouTube Indonesia Lawyers Club, Rabu (16/10/2019).
• Bahas Penusukan Wiranto Settingan, Karni Ilyas Sayangkan Pihak RSPAD yang Tak Mau Hadir di ILC
Menurut Ali Ngabalin, Wiranto hanyalah simbol ideologi yang mana sebenarnya ideologi tidak bisa dirusak dengan senjata.
Maka dari itu teroris membutuhkan simbol seperti sosok Wiranto untuk memengaruhi ideologi negara.
"Kalau ditanya kenapa Pak Wiranto yang menjadi sasaran, maka jawabannya bukan sasaran. Tetapi memang persoalan ideologi," ujar Ali Ngabalin.
"Ideologi itu memang tidak bisa menggunakan senjata, memerangi ideologi itu enggak bisa," sambungnya.
Ali Ngabalin kemudian membacakan beberapa data yang ia bawa soal terorisme, di antaranya rangkaian serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
"Pada waktu 911 2001, itu ditulis oleh Stanlone di Wall Street Journal tiga hari setelah pemboman itu," kata Ali Ngabalin.
• Direktur Indonesia Indikator: Ratna Sarumpaet Diserang Kalian Percaya, Wiranto Kalian Tak Percaya?
Ali Ngabalin menjelaskan bagaimana para teroris menyerang simbol ideologi melalui komunikasi internet sehingga menyebarkan ketakutan di dunia maya.
"Kemudian dia menuliskan tentang betapa tingkat komunikasi para teroris itu dipakai lewat media sosial, lewat internet," ujarnya.
Selain di AS, peristiwa bom Bali juga turut disorot Ali Ngabalin.
"Kemudian pada tanggal 12 Oktober 2002 bom Bali satu, itu ditulis oleh Bernard Yoseth di New York Times pada tanggal 17 Oktober 2002," jelasnya.
"Dengan catatan tentang betapa dahsyatnya teroris itu menggunakan dunia maya dalam mengomunikasikan seluruh komunikasi dan niat-niat jahat mereka."
Peristiwa serupa juga terjadi pada bom bali kedua yang mana semakin menguatkan peran media sosial untuk melancarkan aksi terorisme.