“Saya selalu merasakan kedamaian selama tinggal di desa ini,” cerita Winarti yang juga seorang guru.
Saat peringatan hari besar keagamaan di gereja, pengurus gereja tidak pernah absen untuk mengundang umat di luar agama Katolik.
Pengurus Gereja selalu mengundang para pemuka agama dari berbagai agama dan warga sekitar untuk menghadiri hari besar keagamaan di Gereja.
“Kami selalu mengundang pemuka agama dan warga sekitar sebagai bentuk kepedulian,” cerita Ibu Irene, penjaga gereja yang sudah berusia 74 tahun.
Misalnya, pada perayaan Natal dan Paskah, umat Katolik selalu mengundang pemuka agama dari umat Islam dan Hindu yang ada di Sukoreno.
Bahkan, kepala desa juga tidak pernah absen menghadiri acara keagamaan meski berbeda keyakinan.
Populer: Ayah & Ibunya Meninggal, Bayi Kembar Berusia 4 Hari Ini Menjadi Yatim-Piatu, Simak Kisah Lengkapnya
Begitu juga sebaliknya, saat perayaan Idul Fitri misalnya, warga Desa Sukoreno yang beragama Katolik maupun Hindu selalu bersilaturahim dengan mengunjungi warga yang beragama Islam.
Saat ada perayaan keagamaan agama Hindu, tanpa dikomando warga akan saling mengunjungi sebagai bentuk rasa toleransi dan menjaga keberagaman di Desa Sukoreno.
Seolah ada rasa kebersamaan yang telah melekat dalam diri masyarakat Sukoreno.
Maka tidak heran jika warga desa ini begitu terbiasa dengan keberagaman.
“Kami sudah biasa hidup berdampingan. Kuncinya yakni saling menghormati satu sama lain,” ungkap Ibu Irene.
Cara inilah yang disebut menjadi salah satu ampuh untuk merawat keberagaman.
Masyarakat ingin membiasakan hidup berdampingan tanpa ada perselisihan. (*)
Berita ini telah tayang di Intisari dengan judul: Desa Toleransi yang Menggetarkan Hati di Timur Jawa: Kaum Muslim, Kristen, dan Hindu Bersatu Padu