Ponpes Al Zaytun dan Ajarannya
Moeldoko Akui sudah 2 Kali Kunjungi dan Ceramah di Ponpes Al Zaytun di Era SBY dan Jokowi
KSP Moeldoko mengakui sudah dua kali dirinya berkunjung ke Ponpes Al Zaytun untuk berceramah karena diundang oleh pihak ponpes.
Editor: Anung
TRIBUNWOW.COM - Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengakui dirinya sudah dua kali pergi mengunjungi Pondok pesantren (Ponpes) Al Zaytun.
Kunjungan ini dilakukan oleh Moeldoko sebanyak dua kali atas undangan Ponpes Al Zaytun.
Dikutip TribunWow dari wartakota, menurut keterangan dari Moeldoko, kunjungan ini terjadi pada saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: Jokowi Buka Suara soal Isu Oknum Istana Jadi Bekingan Al Zaytun, Langsung Bantah: Saya Dong?
Seperti dikutip dari Kompas.com pada Senin (26/6/2023) Moeldoko mengaku sudah dua kali berkunjung dan memberikan ceramah di Ponpes Al Zaytun.
Satu kali saat masih menjadi Pangdam, kemudian Moeldoko berkunjung lagi saat menjadi Kepala Kantor Staf Presiden.
"Saya dua kali. Waktu (masih) Pangdam dulu ya. Pangdam sekali. Berikutnya waktu (jadi) KSP saya ke sana," kata Moeldoko.
Kedatangan Moeldoko ke Al Zaytun pun atas undangan pihak ponpes.
Saat itu, menurut Moeldoko, kondisi di Ponpes Al Zaytun berjalan seperti biasa.
Hal itu disampaikannya merujuk kepada ponpes-ponpes yang sering didatanginya.
Hanya saja Moeldoko menilai ponpes tersebut kental memberikan materi wawasan kebangsaan.
"Ya lingkungannya berjalan seperti biasa ya. Lingkungan biasa. Karena saya sering masuk ke pesantren-pesantren ya seperti itu. Hanya yang saya lihat persoalan-persoalan kebangsaannya itu kental ya di sana," jelas Moeldoko.
Saat disinggung lebih lanjut apakah ada unsur penyimpangan di Al Zaytun, mantan Panglima TNI itu pun menegaskan perlu pendalaman lebih lanjut.
Selain itu perlu dilihat secara langsung seperti apa keseharian di sana.
"Bahwa kalau persoalan itu kan perlu ada pendalaman. Harus ditongkrongin di sana, melihat kesehariannya seperti apa. Kalau hanya sekilas kan saya enggak ngerti," terang Moeldoko.
"Bagaimana yang sesungguhnya itu apa, perlu adanya badan yang intens melihat itu sehingga nanti kesimpulannya tidak salah. Jangan membuat kesimpulan atas isu yang berkembang wah repot nanti," papar Moeldoko.