Ponpes Al Zaytun dan Ajarannya
Masa Kelam Ponpes Al Zaytun, Panglima TNI Endriartono sampai Pecat Anak Buah Imbas Kasus Pemilu 2004
Sorotan tajam publik terhadap Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, tak kunjung berakhir.
Editor: Jayanti Tri Utam
TRIBUNWOW.COM - Sorotan tajam publik terhadap Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, tak kunjung berakhir.
Meski sudah berdiri 30 tahun lalu, kontroversi Ponpes Al Zaytun terus bergulir.
Terutama, terkait kasus dugaan ajaran sesat hingga dugaan kasus rudapaksa yang menyeret pemimpin Ponpes Al Zaytun, Panji Gumilang.
Akibat kontroversi tersebut, Ponpes Al Zaytun pun digeruduk ribuan massa dari Forum Indramayu Menggugat (FIM).
Baca juga: Sosok Intel dari Panji Gumilang Buat Lindungi Ponpes Al Zaytun, Cepat Beri Info Ternyata Anggota BIN
Baca juga: Polemik Ponpes Al Zaytun, Diduga Sebar Ajaran Sesat hingga Peras Harta Jamaah, Ini Kata Mahfud MD
Mereka menuntut agar dugaan aliran sesat di Ponpes Al-Zaytun diusut tuntas.
Tak hanya itu, massa juga mendesak pengusutan dugaan tindak pidana pemerkosaan oleh pimpinan Ponpes Al-Zaytun, Syekh Panji Gumilang.
Sebetulnya, sorotan negatif terhadap Ponpes Al-Zaytun ini bukan kali pertama terjadi.
Jauh ke belakang, tepatnya ketika berlangsungnya Pemilu 2004, Ponpes Al-Zaytun pernah membuat geger masyarakat yang turut menyeret TNI.
Mobilisasi massa Dalam pesta demokrasi 2004 silam, TNI dituding tidak bisa menjaga netralitasnya karena turut memobilisasi ribuan orang menggunakan 21 bus Mabes TNI untuk mencoblos di Ponpes Al-Zaytun.
Dikutip dari Harian Kompas edisi 8 Juli 2004, kasus ini bermula ketika seorang warga Jakarta Selatan bernama Emut Muhtar menghubungi seorang pegawai negeri sipil bernama Isna, sopir Satuan Angkutan Denma Mabes TNI.
Emut bermaksud menyewa bus dengan harga Rp 940.000 per unit untuk keperluan pengajian di Ponpes Al-Zaytun.

Baca juga: Penampakan Demo di Ponpes Al Zaytun, Panji Gumilang Pimpin Pasukan Tandingan, Atur Langsung Barisan
Isna lalu menghubungi sopir lain yang menyimpan kendaraan di rumahnya masing-masing.
Pada 4 Juli 2004, 21 bus di bawah koordinasi Isna berangkat dari tiga titik penjemputan, yaitu Lebak Bulus, Pondok Pinang, dan Kalibata, menuju Ponpes Al-Zaytun.
Begitu sampai, bus kembali ke rumah sopir masing-masing. Tanggal 5 Juli, seusai pencoblosan, 21 bus kembali menjemput massa yang sebelumnya diantar untuk dibawa ke tempat pemberangkatan.
Kasus mobilisasi massa ini sampai ke telinga Panglima TNI kala itu, Jenderal Endriartono Sutarto.