Konflik Rusia Vs Ukraina
Zelensky Janjikan Pengusaha AS Keuntungan Besar Lewat Bisnis Senjata hingga Pertahanan di Ukraina
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menjanjikan kekayaan berlimpah kepada pengusaha AS yang mau berbisnis di Ukraina.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Elfan Fajar Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Janji manis disampaikan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kepada pengusaha di Amerika Serikat (AS).
Zelensky menjanjikan ada keuntungan besar menanti bagi para pengusaha yang hendak berbisnis senjata hingga alat pertahanan di Ukraina.
Dikutip TribunWow dari rt, janji ini disampaikan oleh Zelensky ketika ia berbicara di hadapan NASC yakni sebuah organisasi negara AS yang beranggotakan pengusaha, pada Senin (23/1/2023).
Baca juga: Cari Suaka ke Norwegia, Komandan Wagner Rusia yang Kabur dari Ukraina Kini Justru Ditangkap Polisi
Pada kesempatan tersebut, Zelensky menjelaskan bagaimana bisnis di AS dapat mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi global.
Kemudian Zelensky menjelaskan bagaimana pemerintah Ukraina telah berhasil menarik perhatian dari perusahaan-perusahaan investor besar mulai dari Blackrock, JP Morgan hingga Goldman Sachs.
Zelensky lalu menerangkan bagaimana semua pebisnis bisa menjadi besar lewat cara bekerja dengan Ukraina.
"Semuanya bisa menjadi pebisnis besar dengan bekerja bersama Ukraina di semua sektor: mulai dari persenjataan, pertahanan, konstruksi, komunikasi, pertanian, transportasi, IT, perbankan hingga obat-obatan," kata Zelensky.
Zelensky tak lupa turut menyanjung bantuan senjata dari pemerintah AS ke Ukraina.
Sebelumnya diberitakan, AS adalah satu dari beberapa negara barat yang tidak tanggung-tanggung dalam memberikan bantuan kepada Ukraina yang tengah berkonflik melawan Rusia.
Namun dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Quinnipiac, sebanyak 1/3 warga AS saat ini merasa negara mereka terlalu banyak memberikan bantuan ke Ukraina.
Dikutip TribunWow dari rt, survei ini dirilis pada Rabu (18/1/2023).
Baca juga: Lagi-lagi Ancam Pakai Nuklir, Mantan Presiden Rusia Ungkap Akibat jika Negaranya Kalah di Ukraina
Sebelumnya pada Februari tahun 2022, hanya ada 7 persen responden yang meyakini AS terlalu banyak membantu Ukraina.
Survei terbaru juga menunjukkan bahwa 21 persen responden merasa AS masih kurang totalitas dalam membantu Ukraina.
Sementara itu 38 responden meyakini AS sudah memberikan bantuan dalam jumlah yang pas.
Survei ini dilakukan di AS dengan responden 1.659 orang dewasa dari 11-15 Januari.
Dalam survei ini mayoritas responden sebesar 35 persen merasa isu inflasi lebih penting untuk dijadikan prioritas.
Kemudian disusul oleh isu imigrasi sebesar 10 persen, kekerasan senjata api sebesar 8 persen, baru isu konflik Ukraina sebesar 3 persen.
Sebelumnya diberitakan, Ukraina saat ini disebut dilarang berdamai dengan Rusia karena terlanjur dibantu oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara barat lainnya.
Tudingan ini disampaikan oleh Direktur Badan Intelijen Luar Negeri Rusia, Sergey Naryshkin.
Dikutip TribunWow dari rt, Naryshkin menuding AS dan negara-negara barat melarang Ukraina mengambil jalur damai.
Baca juga: Saksikan Eksekusi Mati Prajurit Desersi, Komandan Tentara Bayaran Rusia Kabur dari Ukraina

Naryshkin mencontohkan bagaimana perundingan damai antara Rusia dan Ukraina di Istanbul pada Maret 2022 lalu sebenarnya berlangsung lancar karena kedua belah pihak sempat saling setuju namun tetap saja gagal.
Menurut keterangan Naryshkin, AS dan negara-negara barat terlanjur mengirimkan bantuan uang dan senjata kepada Ukraina sehingga meminta Ukraina untuk terus berperang melawan Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bahkan sempat menandatangani sebuah dekrit yang melarang para pejabat pemerintahannya melakukan negosiasi dengan Rusia.
Langkah terbaru Zelensky adalah mempromosikan sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) yang akan diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) alias UN di New York pada 24 Februari 2023.
Dalam KTT tersebut diketahui perundingan konflik di Ukraina akan dibahas tanpa kehadiran Rusia.
Pembahasan akan berfokus pada 10 poin rencana damai yang sempat dibahas oleh pemerintah Ukraina.
Isi dari 10 poin tersebut di antaranya adalah meminta Rusia untuk mundur dari teritorial yang telah mereka kuasai, meminta Rusia untuk membayar kerusakan akibat konflik hingga membawa konflik Ukraina ke pengadilan kejahatan perang.
10 poin perdamaian itu telah ditolak oleh Rusia.
Pemerintah Rusia menegaskan terbuka untuk bernegosiasi selama Ukraina mau mengakui status Donets, Lugansk, Kherson, dan Zaporozhye sebagai bagian dari Rusia.
Baca juga: Sebelum Rusia Menyerang, Bos CIA Diam-diam Pergi ke Ukraina Peringatkan Zelensky Terancam Dibunuh
Ukraina Berpotensi Dipaksa Berdamai
Bukan hal yang mustahil jika nanti Ukraina dipaksa oleh negara-negara barat untuk berdamai dengan Rusia.
Prediksi ini disampaikan oleh dua mantan menteri pemerintah Amerika Serikat (AS) yakni mantan Menteri Sekretaris Negara AS, Condoleezza Rice dan mantan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates.
Dikutip TribunWow dari rt, kedua menteri ini menjelaskan bagaimana pemerintah Ukraina saat ini kehidupan ekonominya sepenuhnya bergantung kepada bantuan negara asing.
Baca juga: Kehebatan Kendaraan Militer Ukraina Kiriman Prancis, Jerman dan AS, Siap Gempur Rusia di Musim Semi
Apabila pada serangan selanjutnya Ukraina gagal maka ngara-negara barat berpotensi menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk berdamai dengan Presiden Rusia Vladmir Putin.
Ukraina sempat menyatakan akan melakukan serangan besar-besaran pada musim semi nanti pada September 2023.
Namun menurut Rice dan Gates, kondisi militer Ukraina saat ini diprediksi tidak akan bisa bertahan lama dari gempuran Rusia.
Di sisi lain, intelijen militer Ukraina mengklaim bahwa Rusia akan memerintahkan mobilisasi tahap kedua untuk mengirim tentara wajib militer ke medan perang.
Dilansir TribunWow.com, setelah memberlakukan wajib militer pada bulan Oktober 2022, Rusia disebut akan melakukan hal yang sama pada Januari 2023 ini.
Meski Presiden Rusia Vladimir Putin membantah, namun sejumlah pengamat maupun konten kreator pro-Moskow menilai hal tersebut tak akan terelakkan lagi.
Baca juga: Ajukan Syarat Khusus, Putin Buka Kesempatan untuk Bahas Perdamaian Rusia dengan Ukraina
Seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (8/1/2023), 300.000 tentara wajib militer telah dipanggil untuk berperang pada tahun lalu.
Kini, pemerintah Rusia dikabarkan akan memerintahkan sebanyak 500.000 wajib militer untuk dikirim ke Ukraina.
Jika benar terjadi, hal ini disinyalir jelas menandakan bahwa Putin tidak berniat mengakhiri perang.
Jika perkiraan tersebut terbukti benar, maka Rusia akan memiliki kekuatan hampir dua kali lipat sebelum perang dalam waktu beberapa bulan.
Adapun Intelijen militer Ukraina mengatakan 280.000 pasukan darat Rusia saat ini dikerahkan untuk melawan Ukraina.

Baca juga: 10 Ribu Tentara Rusia Tewas di Ukraina, Terdiri dari Perwira hingga Wajib Militer, Berikut Detailnya
Vadym Skibitsky, wakil kepala intelijen militer Ukraina, mengatakan pihaknya yakin wajib militer akan menjadi bagian dari serangkaian serangan Rusia selama musim semi dan musim panas di timur dan selatan negara itu.
Skibitsky mengatakan Rusia membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk menyusun formasi militer.
Sementara, kondisi Rusia di medan perang tidak hanya akan bergantung pada seberapa baik perlengkapan dan pelatihan Rusia.
Menurutnya, hal itu juga dipengaruhi dengan pasokan amunisi dan persenjataan barat ke Ukraina untuk melengkapi unit cadangan baru yang sedang disiapkan.
"Jika Rusia kalah kali ini, maka Putin akan runtuh," kata Skibitsky.
Dia mengatakan Ukraina memprediksi gelombang mobilisasi terbaru akan diumumkan pada 15 Januari, setelah periode liburan musim dingin Rusia.
"Mereka menekankan pada jumlah orang dan peralatan dan berharap untuk mengalahkan pihak kita," ucap Skibitsky.
"Kami menduga mereka akan melakukan serangan di wilayah Donetsk dan Kharkiv, serta mungkin Zaporizhzhia, tetapi bertahan di Kherson dan Krimea. Ini adalah jumlah orang yang mereka perlukan untuk tugas seperti itu," imbuhnya seraya menjelaskan mengapa mereka memperkirakan setengah juta orang akan dikerahkan.
Namun, Rusia membantah sedang mempersiapkan gelombang kedua mobilisasi, dengan Putin mengatakan pada bulan lalu bahwa hal tersebut tidak ada gunanya untuk dibahas.
Senada dengan hal itu, Andrey Gurulyov, pensiunan kolonel jenderal Rusia dan wakil Duma, mengatakan bahwa tidak ada alasan atau syarat bagi Moskow untuk mengumumkan mobilisasi kedua dalam enam bulan ke depan.
"Tidak semua orang yang dimobilisasi sebelumnya dikirim ke pertempuran," kata Gurulyov kepada media Rusia, mengacu pada puluhan ribu wajib militer yang menjalani pelatihan militer.
Di sisi lain, beberapa blogger nasionalis pro-perang yang telah memperoleh pengaruh dalam beberapa bulan terakhir mengatakan Rusia tidak punya pilihan selain segera mengumumkan dorongan mobilisasi baru.
Igor Strelkov, seorang komentator ultra-nasionalis Rusia dan mantan perwira intelijen, memperkirakan Moskow akan mengumumkan mobilisasi bulan depan.
"Akan ada gelombang mobilisasi kedua. Kami akan dipaksa untuk melakukan (wajib militer-red) gelombang kedua, dan mungkin gelombang ketiga. Untuk menang di Ukraina, kami perlu memanggil setidaknya setengah juta tentara lagi," kata Strelkov.
Ia menambahkan bahwa gerakan mobilisasi baru akan diadakan pada akhir Februari, pada peringatan dimulainya perang. (TribunWow.com/Anung/Via)