Konflik Rusia Vs Ukraina
Ukraina Berpotensi Dipaksa Negara-negara Barat untuk Berdamai dengan Rusia jika Hal Ini Terjadi
Ada kemungkinan Ukraina akan dipaksa untuk berdamai dengan Rusia jika skenario ini terjadi.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Elfan Fajar Nugroho
TRIBUNWOW.COM - Bukan hal yang mustahil jika nanti Ukraina dipaksa oleh negara-negara barat untuk berdamai dengan Rusia.
Prediksi ini disampaikan oleh dua mantan menteri pemerintah Amerika Serikat (AS) yakni mantan Menteri Sekretaris Negara AS, Condoleezza Rice dan mantan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates.
Dikutip TribunWow dari rt, kedua menteri ini menjelaskan bagaimana pemerintah Ukraina saat ini kehidupan ekonominya sepenuhnya bergantung kepada bantuan negara asing.
Baca juga: Kehebatan Kendaraan Militer Ukraina Kiriman Prancis, Jerman dan AS, Siap Gempur Rusia di Musim Semi
Apabila pada serangan selanjutnya Ukraina gagal maka ngara-negara barat berpotensi menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk berdamai dengan Presiden Rusia Vladmir Putin.
Ukraina sempat menyatakan akan melakukan serangan besar-besaran pada musim semi nanti pada September 2023.
Namun menurut Rice dan Gates, kondisi militer Ukraina saat ini diprediksi tidak akan bisa bertahan lama dari gempuran Rusia.
Di sisi lain, intelijen militer Ukraina mengklaim bahwa Rusia akan memerintahkan mobilisasi tahap kedua untuk mengirim tentara wajib militer ke medan perang.
Dilansir TribunWow.com, setelah memberlakukan wajib militer pada bulan Oktober 2022, Rusia disebut akan melakukan hal yang sama pada Januari 2023 ini.
Meski Presiden Rusia Vladimir Putin membantah, namun sejumlah pengamat maupun konten kreator pro-Moskow menilai hal tersebut tak akan terelakkan lagi.
Baca juga: Ajukan Syarat Khusus, Putin Buka Kesempatan untuk Bahas Perdamaian Rusia dengan Ukraina
Seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (8/1/2023), 300.000 tentara wajib militer telah dipanggil untuk berperang pada tahun lalu.
Kini, pemerintah Rusia dikabarkan akan memerintahkan sebanyak 500.000 wajib militer untuk dikirim ke Ukraina.
Jika benar terjadi, hal ini disinyalir jelas menandakan bahwa Putin tidak berniat mengakhiri perang.
Jika perkiraan tersebut terbukti benar, maka Rusia akan memiliki kekuatan hampir dua kali lipat sebelum perang dalam waktu beberapa bulan.
Adapun Intelijen militer Ukraina mengatakan 280.000 pasukan darat Rusia saat ini dikerahkan untuk melawan Ukraina.

Baca juga: 10 Ribu Tentara Rusia Tewas di Ukraina, Terdiri dari Perwira hingga Wajib Militer, Berikut Detailnya
Vadym Skibitsky, wakil kepala intelijen militer Ukraina, mengatakan pihaknya yakin wajib militer akan menjadi bagian dari serangkaian serangan Rusia selama musim semi dan musim panas di timur dan selatan negara itu.
Skibitsky mengatakan Rusia membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk menyusun formasi militer.
Sementara, kondisi Rusia di medan perang tidak hanya akan bergantung pada seberapa baik perlengkapan dan pelatihan Rusia.
Menurutnya, hal itu juga dipengaruhi dengan pasokan amunisi dan persenjataan barat ke Ukraina untuk melengkapi unit cadangan baru yang sedang disiapkan.
"Jika Rusia kalah kali ini, maka Putin akan runtuh," kata Skibitsky.
Dia mengatakan Ukraina memprediksi gelombang mobilisasi terbaru akan diumumkan pada 15 Januari, setelah periode liburan musim dingin Rusia.
"Mereka menekankan pada jumlah orang dan peralatan dan berharap untuk mengalahkan pihak kita," ucap Skibitsky.
"Kami menduga mereka akan melakukan serangan di wilayah Donetsk dan Kharkiv, serta mungkin Zaporizhzhia, tetapi bertahan di Kherson dan Krimea. Ini adalah jumlah orang yang mereka perlukan untuk tugas seperti itu," imbuhnya seraya menjelaskan mengapa mereka memperkirakan setengah juta orang akan dikerahkan.
Namun, Rusia membantah sedang mempersiapkan gelombang kedua mobilisasi, dengan Putin mengatakan pada bulan lalu bahwa hal tersebut tidak ada gunanya untuk dibahas.
Senada dengan hal itu, Andrey Gurulyov, pensiunan kolonel jenderal Rusia dan wakil Duma, mengatakan bahwa tidak ada alasan atau syarat bagi Moskow untuk mengumumkan mobilisasi kedua dalam enam bulan ke depan.
"Tidak semua orang yang dimobilisasi sebelumnya dikirim ke pertempuran," kata Gurulyov kepada media Rusia, mengacu pada puluhan ribu wajib militer yang menjalani pelatihan militer.
Di sisi lain, beberapa blogger nasionalis pro-perang yang telah memperoleh pengaruh dalam beberapa bulan terakhir mengatakan Rusia tidak punya pilihan selain segera mengumumkan dorongan mobilisasi baru.
Igor Strelkov, seorang komentator ultra-nasionalis Rusia dan mantan perwira intelijen, memperkirakan Moskow akan mengumumkan mobilisasi bulan depan.
"Akan ada gelombang mobilisasi kedua. Kami akan dipaksa untuk melakukan (wajib militer-red) gelombang kedua, dan mungkin gelombang ketiga. Untuk menang di Ukraina, kami perlu memanggil setidaknya setengah juta tentara lagi," kata Strelkov.
Ia menambahkan bahwa gerakan mobilisasi baru akan diadakan pada akhir Februari, pada peringatan dimulainya perang.
Baca juga: Geger Pria Rusia Tembak Petugas Wajib Militer Perang Ukraina, Buat Warga Berhamburan saat Teriak Ini
Ribuan Orang Ditangkap karena Menolak ke Ukraina
Penduduk Rusia berduyun-duyun turun ke jalan di beberapa kota untuk memprotes wajib militer.
Dilansir TribunWow.com, mereka menolak keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk memobilisasi sebagian warga sipil dan pasukan cadangan ke medan perang Ukraina.
Dilaporkan bahwa sejumlah kericuhan terjadi di beberapa titik yang berujung bentrokan antara pendemo dan polisi.
Baca juga: Putin Kirim Warga Sipil Rusia ke Medan Perang hingga Ancam Pakai Nuklir, Begini Tanggapan Ukraina
Hingga saat ini, ribuan orang ditangkap dalam demonstrasi anti-mobilisasi di kota-kota seperti Moskow dan St Petersburg pada Rabu (21/9/2022).
Para pengunjuk rasa di Moskow tersebut meneriakkan "Tidak untuk perang!" dan “Hidup untuk anak-anak kita!".
Sementara itu, di St Petersburg, pengunjuk rasa meneriakkan penolakan terhadap diadakannya mobilisasi atau wajib militer.
"Semua orang takut. Saya untuk perdamaian dan saya tidak ingin harus menembak. Tetapi keluar sekarang sangat berbahaya, jika tidak, akan ada lebih banyak orang," kata seorang pengunjuk rasa, Vasily Fedorov, dikutip Al Jazeera, Rabu (21/9/2022).
"Saya datang untuk mengatakan bahwa saya menentang perang dan mobilisasi," seru mahasiswa bernama Oksana Sidorenko.
"Mengapa mereka memutuskan masa depan saya untuk saya? Saya khawatir atas keselamatan diri saya sendiri, dan saudara saya," tambahnya.
Terlepas dari hukum keras Rusia yang melarang kritik terhadap militer dan perang, protes tetap terjadi di seluruh negeri.
Lebih dari 1.300 orang Rusia ditangkap dalam demonstrasi anti-perang di 38 kota, menurut kelompok hak asasi manusia independen Rusia OVD-Info.

Baca juga: Zelensky Sebut Rusia Panik, Tentara Putin Nekat Serang PLTN Ukraina hingga Percepat Referendum
Kantor berita Rusia Interfax mengutip kementerian dalam negeri yang mengatakan telah membatalkan upaya untuk mengorganisir pertemuan yang tidak sah.
Semua demonstrasi dihentikan dan mereka yang melakukan 'pelanggaran' ditangkap dan dibawa pergi oleh polisi sambil menunggu penyelidikan dan penuntutan.
Sebelumnya, gerakan anti-perang Pemuda Demokratik Vesna menyerukan untuk dilangsungkannya demonstrasi.
"Kami menyerukan kepada militer Rusia di unit dan di garis depan untuk menolak berpartisipasi dalam ‘operasi khusus’ atau menyerah sesegera mungkin," kata Vesna di situsnya, merujuk pada perang Rusia-Ukraina.
"Anda tidak harus mati untuk Putin. Kamu dibutuhkan di Rusia oleh mereka yang mencintaimu."
"Bagi pihak berwenang, anda hanyalah umpan meriam, di mana anda akan disia-siakan tanpa makna atau tujuan apa pun.”
Situs web tersebut juga menyertakan bilik aduan untuk tentara di dalam militer yang tidak ingin berpartisipasi dalam perang.
Demonstrasi ini terjadi setelah pidato televisi Putin pada Rabu pagi, yang menyatakan mobilisasi untuk membela wilayah Rusia dan bahwa Barat ingin menghancurkan negara itu.
"Mereka (Rusia) kalah perang, dan mereka ingin melakukan sesuatu agar tidak kalah,” Oleg Ignatov, seorang analis Crisis Group yang berbasis di Moskow, mengatakan kepada Al Jazeera.
"Saya pikir masalah utamanya adalah mereka kekurangan personel di lapangan, mereka tidak memiliki cukup tentara untuk menyerang Ukraina, atau bahkan melindungi daerah yang diduduki. Mereka ingin menutup kesenjangan dengan Ukraina dan itulah mengapa mereka menyatakan mobilisasi."
Karena terdesaknya pasukan baru-baru ini, militer Rusia harus mencari tambahan tentara dari tempat lain.
Adapun menurut data Google Trends, beberapa jam sebelum pengumuman Putin, pertanyaan 'bagaimana meninggalkan Rusia' melonjak di mesin pencari, seperti halnya pertanyaan 'bagaimana mematahkan lengan sendiri'.
Bahkan, pada hari Rabu, semua penerbangan ke Istanbul dan hampir semua penerbangan ke Yerevan terjual habis.(TribunWow.com/Anung/Via)