Breaking News:

Tragedi Arema Vs Persebaya

2 Putrinya Tewas di Tragedi Kanjuruhan, Ayah di Malang Ungkap Obrolan Terakhir: Saya Marah, Teriak

Seorang ayah menceritakan momen-momen terakhir berkomunikasi dengan kedua anaknya sebelum mereka tewas karena kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.

BBC Indonesia
Devi Athok Yulfitri, 43 tahun, kehilangan dua putrinya akibat Tragedi Kanjuruhan, Natasha Debi dan Naila Debi, serta mantan istrinya Gebi Asta Putri. 

TRIBUNWOW.COM - Devi Athok Yulfitri (43) tak kuasa menahan tangis saat menceritakan momen terakhir berkomunikasi dengan kedua anaknya sebelum mereka tewas karena kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) lalu.

Dikutip dari BBC Indonesia, Devi telah kehilangan dua putrinya, Natasha Debi dan Naila Debi, serta mantan istrinya Gebi Asta Putri.

Mereka tewas di Tribun Selatan, Stadion Kanjuruhan.

Baca juga: Sebagian Aremania Trauma Atas Tragedi Kanjuruhan, Mengaku Takut untuk Dukung Arema FC di Stadion

Saat diwawancarai wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau di Malang, Devi menunjukkan komunikasi terakhir melalui WhatsApp dengan putrinya, Natasha.

Sunlilu [panggilan kesayangan untuk Natasha]: “Ayah ndelo [menonton] Arema?”

Devi: “Ayah di Pasir Putih, Situbondo. Muat Tebu. Mba Tasya mau lihat?”

Natasha: “Oalaa, heem amb [iya bersama] pipi mama”

Devi: ”Oh… iya… Tikette wes nduwe [Tiketnya sudah dibeli?]”

Natasha: ”Kte [kita] pinjem baju. [Tiketnya] uwess [sudah]”

Natasha: “Aku ga erro ndelo nde get piro, engko nd 10 gae curvanord [Aku tidak tahu menonton di gate berapa, inginnya nanti di Gate 10, Gate Curvanord]. emoticon sedih”

Devi: “Gak apa2.. Bilango, anak e mas depi curvanord [Tidak apa-apa…Bilang saja, kamu anaknya mas Devi Curvanord]”

Natasha “Halah pret”

Baca juga: Komnas HAM Temukan Fakta Baru Alasan Aremania Turun Lapangan, Heran Gas Air Mata Tragedi Kanjuruhan

Itulah sepenggal komunikasi antara Devi dengan anaknya dari pukul 14:51 hingga 14:57 WIB, Sabtu (01/10).

Sementara itu, lanjut Devi, anak keduanya Naila, pada Sabtu siang itu, beberapa kali mengganggu dirinya.

“Sangat ngalem [manja], ganggu terus, telepon terus, lalu dimatikan. Suruh saya telepon lagi, sampai delapan kali. Dia minta dijemput pulang sekolah oleh bapak saya, ngalem sekali dan kata bapak taruh sepatu di leher bapak saya,” kata Devi.

Kemudian Devi melanjutkan pekerjannya untuk mengantarkan tebu dari Situbondo ke Malang.

Di perjalanan, dia merasa gelisah, ”seperti ada orang di mobil, tapi tidak ada”. Dia tiba di rumahnya sekitar pukul 11 malam.

Saat itu, seorang teman dari komunitas pendukung Aremania “Curvanord”, meneleponnya.

Teman itu mengatakan, Natasha telah meninggal dunia dan berada di Rumah Sakit Wava Husada Malang.

Lalu Devi mengajak kedua orang tuanya dan kakaknya ke RS.

“Hancur [saya melihat kondisi anak]. Natasha tergeletak. Saya pukul semua, saya tidak percaya anak saya meninggal dunia. Saya peluk lagi, berontak lagi,” katanya.

Lalu Devi menelepon ponsel milik anaknya, Naila, dan mantan istrinya, Gebi, sekitar pukul 01:30-an.

Namun tidak ada jawaban.

Ternyata Gebi dan Naila juga tewas dalam tragedi Stadion Kanjuruhan.

Mereka berada di RS yang sama.

“Kakak saya lalu cari-cari lagi dan melihat mamanya [Gabi], dan Naila di barisan jenazah, tiga saf, yang sama,” kata Devi.

“Melihat itu, saya tidak percaya, saya marah. Saya teriak, ‘anakku mati loro’ [dua anakku meninggal] dan kemudian saya pingsan, ” ceritanya.

Baca juga: Kapolri Umumkan Oknum Polisi Penembak Gas Air Mata di Stadion Kanjuruhan, 20 Orang Terancam Disanksi

Setelah beberapa hari terlewati, Devi mengatakan, semangat hidupnya telah hancur dan perjuangannya untuk kedua putri yang disayangi menjadi sia-sia.

“Ini akibat gas beracun, bukan gas air mata. Kalau gas air mata mungkin cuma efek pedih gatal. Tapi anak saya keluar racun, busa, dan gosong.”

“Saya mohon dihukum seberat-beratnya pihak keamanan yang menembakkan gas air mata ke tribun. Itu saja”.

Korban meninggal akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan bertambah menjadi 131 orang dan 35 orang di antara mereka adalah anak-anak, menurut data resmi Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Tragedi Kanjuruhan menjadi bencana sepak bola terburuk kedua di dunia, setelah peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan lebih dari 300 orang. (*)

Baca berita lainnya

Artikel ini telah tayang di BBC Indonesia dengan judul Trauma penyintas Tragedi Kanjuruhan: ‘Terinjak-injak, sesak napas, pingsan - saya pasrah, kalau mati di sini tak apa-apa’

Sumber: BBC Indonesia
Tags:
Tragedi KanjuruhanStadion KanjuruhanMalangJawa TimurArema FCPersebaya Surabaya
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved