Konflik Rusia Vs Ukraina
Hendak Terima Ukraina jadi Anggota, Uni Eropa Diprediksi akan Runtuh karena Kebijakan Berikut
Mantan Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov menyebut Uni Eropa akan runtuh karena adanya kebijakan yang kurang efektif.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Mantan Perdana Menteri Ukraina Mykola Azarov memprediksi keruntuhan organisasi internasional Uni Eropa (UE).
Ia menyinggung penyebab kehancuran tersebut adalah karena kebijakan penyelarasan.
Dilansir TribunWow.com dari RIA Novosti, Rabu (22/6/2022), disebutkan bahwa kebijakan tersebut dinilai kurang adil dan menguntungkan.
Baca juga: Murka Aset Rusia yang Dibekukan akan Diberikan ke Ukraina, Menlu Putin Kecam Pejabat Uni Eropa
Menurut Azarov, prinsip 'leveling' di Uni Eropa dapat membuat negara-negara maju berpikir untuk meninggalkannya.
Pasalnya, negara-negara tersebut harus membayar potongan ke negara lain, yang tidak selalu dianggap positif.
"Negara-negara kaya Uni Eropa memotong dana tertentu dari anggaran mereka untuk subsidi pemerataan," terang Azarov.
"Artinya, hampir semua warga Jerman, Prancis, Belanda, dan negara-negara lain, karena mereka pernah bergabung dengan beberapa negara ke Uni Eropa, membayar jumlah yang signifikan dari pendapatan mereka untuk apa yang disebut subsidi pemerataan."
Menurut dia, dana yang masuk ke negara-negara Uni Eropa yang kurang berkembang, digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan jalan.
Tetapi di beberapa tempat, dana itu menghilang begitu saja ke dalam kantong pejabat yang tak berdasar dan dihabiskan secara tidak efisien.

Baca juga: Biden Sebut Putin Punya Keyakinan Konflik di Ukraina akan Memecah Uni Eropa dan NATO
Azarov percaya bahwa kebijakan Uni Eropa tidak rasional, karena dana yang secara teoritis dapat diarahkan ke Ukraina, tidak mungkin digunakan secara efektif sesuai dengan tujuan yang dinyatakan.
"Maksud saya tentang subsidi pemerataan.(Kebijakan - red.) ini tidak rasional, dan cepat atau lambat mengarah pada fakta bahwa tidak hanya Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, seperti yang terjadi, tetapi sejumlah negara lain akan berpikir yang seharusnya mereka ada di sana," tutupnya.
Komentar Azarov ini diutarakan ketika Ukraina sedang menunggu keputusan bagi negaranya untuk tergabung dalam UE, sementara masih menghadapi invasi Rusia di wilayah timur negaranya.
Baca juga: Erdogan Sebut Uni Eropa Panik Tangani Pengungsi Ukraina, Bandingkan dengan Turki soal Suriah
Menlu Putin Kecam Pejabat Uni Eropa
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengecam gagasan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell.
Pasalnya, Borell mengusulkan untuk menyita aset Rusia yang dibekukan di luar negeri guna menyerahkannya ke Ukraina.
Pemberian aset Rusia tersebut dinilai tepat sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkan di Ukraina.

Baca juga: Zelensky Umumkan Kejahatan telah Kembali, Sebut Ukraina akan Atasi Rusia karena Miliki Darah Pejuang
Dikutip TribunWow.com dari TASS, Kamis (12/5/2022), Lavrov naik pitam dan mengatai usulan itu sebagai pencurian terang-terangan.
"(Proposal ini), bisa dikatakan, adalah pencurian, yang bahkan tidak mereka coba sembunyikan," kata Lavrov pada hari Selasa (10/5/2022) saat konferensi pers yang mengakhiri kunjungannya ke Aljazair.
Adapun aset Rusia tersebut telah dibekukan sebagai bentuk sanksi akibat invasinya ke Ukraina.
Cadangan devisa negara itu dikatakan memiliki jumlah total $ 630 miliar (Rp 9 kuadriliun) yang kini secara efektif dibekukan oleh sanksi di AS, UE, dan tempat-tempat lain.
Lavrov kemudian mengecam Barat karena melakukan praktik yang sama terhadap Bank Sentral Afghanistan.
Menurutnya, Barat telah membekukan cadangan Bank tersebut dan tidak bersedia mengalokasikan dana itu untuk kebutuhan Afghanistan.
"Mereka telah membekukan uang, yang merupakan milik Afghanistan, ke Bank Sentral Afghanistan, di Amerika. Dan mereka ingin uang itu dihabiskan bukan untuk kebutuhan rakyat Afghanistan, yang telah menderita akibat kehadiran 20 tahun negara-negara NATO. Tetapi mereka menginginkannya untuk beberapa tujuan lain yang tidak terkait dengan rekonstruksi ekonomi Afghanistan," beber Lavrov.
Ia yakin bahwa Uni Eropa, yang tidak memiliki kebijakan luar negeri sendiri, bergantung sepenuhnya pada Amerika Serikat.
Lavrov pun menyarankan agar kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa tidak melupakan bahwa dia adalah diplomat tertinggi di Uni Eropa, dan bukan kepala militer.
"Kita mungkin akan segera melihat bahwa posisi diplomat top Uni Eropa ini akan dihapuskan, karena Uni Eropa hampir tidak memiliki kebijakan luar negerinya sendiri, berada dalam solidaritas penuh dengan pendekatan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat," ujar Lavrov.
Diketahui, Borrell, mengusulkan agar Uni Eropa mempertimbangkan untuk menyita aset Rusia dan menggunakannya untuk membantu mendanai upaya rekonstruksi pascaperang di Ukraina.
Ia mengatakan kepada Financial Times dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada Senin (9/5/2022), bahwa langkah itu akan mirip dengan apa yang dilakukan Washington dengan aset bank sentral Afghanistan setelah kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan di negara yang dilanda perang itu.
"Komisi Eropa mengatakan harga rekonstruksi (Ukraina) bisa mencapai ratusan miliar euro, dan Uni Eropa harus mempertimbangkan untuk menyita cadangan devisa Rusia yang beku untuk membantu membayar biaya pembangunan kembali Ukraina setelah perang," ucap Borrell.
"Kami memiliki uang di kantong kami, dan seseorang harus menjelaskan kepada saya mengapa itu baik untuk uang Afghanistan dan tidak baik untuk uang Rusia."
Sebagai informasi, setelah Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan pada Agustus 2021, pemerintahan Presiden AS Joe Biden membekukan sekitar $7 miliar aset bank sentral yang kini disimpan oleh pemerintah Kabul di Federal Reserve Bank, New York.
Pada bulan Februari, Gedung Putih mengatakan pihaknya berencana untuk menggunakan setengah dari aset, yang saat ini dibekukan di tanah AS, untuk bantuan kemanusiaan dan menyisihkan sisanya untuk kemungkinan memenuhi tuntutan hukum atas serangan 11 September 2001.
Borrell mengatakan langkah seperti itu adalah salah satu dari sejumlah cara di mana Rusia dapat dibuat untuk membayar kompensasi perang atas invasi tak beralasan yang diluncurkannya pada 24 Februari.
"Ini adalah salah satu pertanyaan politik yang paling penting di atas meja: Siapa yang akan membayar untuk rekonstruksi Ukraina?," pungkasnya.(TribunWow.com)