Konflik Rusia Vs Ukraina
Pemerintah Rusia Gelontorkan Rp 250 Miliar demi Tingkatkan Patriotisme di Sekolah
Pemerintah Rusia diketahui menganggarkan uang senilai Rp 250 miliar untuk meningkatkan patriotisme di lingkungan sekolah.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
Alih-alih, Rusia disebut mempraktikkan pertahanan diri terhadap ancaman yang diciptakan dan mencegah bencana yang bahkan lebih besar daripada hari ini.
Dalam pelajaran terpisah tentang 'sanksi anti-Rusia', para guru diminta untuk bertanya kepada siswa apakah sanksi itu adil, apakah sanksi itu justru akan memperkuat ekonomi Rusia, dan siapa yang akan dirugikan.
"Guru bersama siswa menyimpulkan bahwa kebijakan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ditujukan untuk meningkatkan perlindungan produsen dalam negeri, memastikan keberlanjutannya dalam menghadapi krisis eksternal," bunyi intruksi dalam dokumen tersebut.
Denis Lanshchikov, seorang guru sejarah di sebuah sekolah swasta di Moskow mengatakan buku pedoman pelajaran, atau metodichki baru itu, sejauh ini tidak wajib digunakan.
Tetapi banyak guru dan administrator di sekolah negeri tampaknya memakainnya atas kemauan mereka sendiri.
Baik karena mereka mendukung perang atau karena mereka pikir sedang diawasi pemerintah.
"Tampaknya bagi saya itu belum merupakan upaya top-down untuk membuat sekolah totaliter," katanya.
"Tapi kemudian setiap orang menciptakan totalitarianisme ini sendiri."
Bahkan siswa sekolah dasar dilaporkan telah menghadapi beberapa tingkat indoktrinasi.
"Di semua sekolah mereka mengadakan acara khusus yang didedikasikan untuk membahas topik peperangan Rusia dengan fasis,” kata Marina Litvinovich, seorang politisi oposisi di Moskow.
Di kelas putranya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD, anak-anak diberi sejarah versi ringan.
"Mereka tidak begitu mengerti. Jadi mereka melewati blokade Leningrad (perang dunia kedua), dan selama pelajaran mereka juga mengatakan bahwa 'lihat, ini adalah bagaimana Rusia terus berjuang melawan fasisme'," tutur Litvinovich.
"Anak-anak tampak santai dalam menghadapi hal itu," katanya tentang putranya.
Dia membandingkannya dengan indoktrinasi yang dia alami sebagai mahasiswa di akhir periode Soviet.
"Ketika Uni Soviet jatuh, semua indoktrinasi ini menghilang, jadi saya tidak terlalu khawatir tentang itu. Doktrin itu akan hilang ketika mereka bertemu kenyataan. (Doktrinasi) itu buruk tapi bukan malapetaka," pungkas Litvinovich. (TribunWow.com/Anung/Via)