Konflik Rusia Vs Ukraina
Puji Kesetiaan China, Rusia Ungkap Masa Depan Hubungan dengan Negara-negara Barat
Menlu Rusia Lavrov menyampaikan akan seperti apa relasi antara Rusia dengan negara-negara barat di masa depan nanti.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menjelaskan akan seperti apa strategi politik Rusia di masa depan.
Saat menjelaskan topik ini, Lavrov berkali-kali menyebut keuntungan menjalin relasi baik dengan China.
Di sisi lain, Lavrov terkesan pesimis ketika membahas hubungan antara Rusia dengan negara-negara barat di masa depan esok.
Baca juga: Zelensky Disebut Menderita Delusi Kemenangan Ukraina atas Rusia Akibat Ditekan oleh Barat
Baca juga: Adegan Pilu Bayi 2 Bulan Digendong di Hadapan Peti Mati Ayahnya yang Tewas saat Membela Ukraina
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, topik ini dibahas oleh Lavrov saat menjadi pembicara di sebuah sekolah elit di Moskow, Rusia.
Lavrov menjelaskan, di bawah tekanan negara-negara barat, saat ini hubungan ekonomi antara Rusia dan China justru semakin erat dan kuat.
Lavrov mengungkit bagaimana hubungan dengan China menjadi peluang bagi Rusia untuk mengembangkan wilayah timur Rusia.
"Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyadari potensi kita di bidang tekonologi mutakhir, termasuk energi nuklir, serta di beberapa sektor lain," kata lavrov.
Saat membahas konflik di Ukraina, Lavrov menyebut bagaimana negara-negara barat hanya berpura-pura peduli terhadap perundingan damai antara Ukraina dan Rusia.
Lavrov turut menyampaikan bagaimana negara-negara barat saat ini beramai-ramai memusuhi Rusia.
Ia menyindir bahwa negara-negara barat tersebut tidak memahami sejarah negara Rusia.
Lavrov meyakini negara-negara barat pada suatu saat akan menyadari tidak bisa terus-menerus menyerang kepentingan vital Rusia.
Ketika nanti negara-negara barat sadar, Lavrov menegaskan Rusia akan mempertimbangkan baik-baik untuk menjalin kembali hubungan Rusia dengan negara-negara barat.
Lavrov mengatakan, saat ini Rusia tengah mencari cara untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung terhadap produk negara-negara barat yang kini telah memberikan sanksi terhadap Rusia.
"(Rusia) harus berhenti bergantung kepada suplai apapun dari (negara) barat," tegas Lavrov.
Lavrov menegaskan Rusia akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara memproduksinya sendiri secara independen.
Baca juga: Media Pemerintahan Putin Beritakan Tentara Rusia Divonis Hukuman Paling Berat di Ukraina
Baca juga: Tentara Rusia Pembunuh Warga Sipil Dipenjara Seumur Hidup di Ukraina? Istri Korban Setujui Opsi Lain
Di sisi lain, pejabat Rusia menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky ditekan oleh pihak Barat.
Hal ini membuat lawan Presiden Rusia Vladimir Putin itu terus saja meyakini negaranya bisa menang melawan Rusia.
Padahal menurutnya, kondisi di medan pertempuran telah berkata hal yang sebaliknya.
Pernyataan tersebut diutarakan oleh Perwakilan Tetap Rusia untuk Uni Eropa Vladimir Chizhov pada hari Senin (23/5/2022).
Seperti dilansir TribunWow.com dari TASS, Chizhov mengatakan bahwa Zelensky terus-menerus mengulang deklarasi kemenangan Ukraina.
"Dia (Zelensky-red) terus mengatakan hal yang sama, bahwa Ukraina menang. Namun, retorikanya baru-baru ini mengungkapkan perbedaan tertentu," kata Chizhov dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi Rossiya-24.
Dilihat dari pernyataan presiden 44 tahuh itu, Chizhov menilai bahwa Zelensky tampaknya menghadapi dilema.
"Di satu sisi, dia mengatakan bahwa solusi diplomatik adalah jalan keluar dari krisis, tetapi, di di sisi lain, dia bersikeras bahwa Ukraina harus menang."
Menurut Chizov, dilema yang dialami Zelensky tersebut akibat tekanan dari rekan-rekan Baratnya yang menginginkan kekalahan Rusia.
"Tentu saja, posisi ini dipicu oleh sponsor Baratnya, yang bersikeras bahwa Rusia harus kalah, bahkan mereka yang tidak mengatakan bahwa Ukraina harus menang. Jelas, mereka akan kecewa," ujar Chizhov.
Menurut diplomat Rusia, pernyataan Barat bahwa terserah Ukraina untuk memutuskan persyaratan gencatan senjata mengungkapkan ketidaktahuan tentang situasi aktual di lapangan.
Di sisi lain, media Rusia menyebut liputan media Barat tentang konflik Ukraina telah berbeda dari kenyataan.
Rusia digambarkan tak bisa mencapai kemenangan sementara pertempuran yang sebenarnya terus menghasilkan serangkaian kekalahan bagi pasukan Kiev.
Nyatanya, Ukraina telah kehilangan kendali atas dua kota besar, meskipun mendapat dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari AS dan sekutunya.
Dilansir TribunWow.com dari RT, Senin (2/5/2022), penulis buku dan mantan marinir Amerika Scott Ritter menilai adnya kesenjangan antara persepsi dan kenyataan ketika menilai konflik Rusia-Ukraina.
Dalam artikel yang disusunnya, Scott Ritter mengatakan hal ini adalah akibat langsung dari sifat konflik itu sendiri yang membingungkan.
Antara lain karena kampanye propaganda dilancarkan oleh Rusia yang dikontra oleh Ukraina dan mitra Baratnya.
Namun baik pemerintah maupun media, enggan untuk menyelidiki secara mendalam tujuan dan sasaran strategis Rusia, apalagi rincian pertempuran sehari-hari di lapangan.
Hasilnya adalah perang informasi di mana dua narasi yang bersaing mengobarkan konflik yang tidak setara, dan persepsi pada akhirnya dikalahkan oleh kenyataan.
Ukraina Miliki Kesempatan Menang
Rusia dikabarkan telah mengalami kerugian yang begitu besar sejak perang dengan Ukraina dimulai.
Pasukan Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan telah kehilangan puluhan ribu pasukan.
Bahkan pasokan persenjataan rudal presisi tinggi yang dimiliki dikatakan telah digunakan hingga 70 % dari total yang dimiliki.
Meskipun negara tersebut mampu memproduksinya secara mandiri, Rusia diprediksi akan mengalami kesulitan jika perang terus berkepanjangan.
Dilansir TribunWow.com dari Ukrinform, Minggu (24/4/2022), klaim ini dinyatakan oleh Christo Grozev, seorang jurnalis investigasi, direktur eksekutif dan ketua dewan platform investigasi Bellingcat.
"Mereka hanya memiliki sekitar 30% dari apa yang mereka gunakan untuk memulai perang," kata Grozev dalam wawancara dengan saluran TV Ukraina 24.
"Ada juga pertanyaan, siapa yang mengoperasikan rudal ini? Lagi pula, sumber daya yang dapat bekerja dengan rudal ini juga terbatas."
"Intelijen kami mengatakan (sumber daya) ini sekitar 30 hingga 40 orang."
Menurut Grozev, pihak Ukraina sengaja menyasar para tentara yang bisa mengoperasikan rudal tersebut.
Sehingga, Rusia tak hanya kehabisan amunisi tapi juga sejumlah tentara ahli senjata.
"Bagaimanapun, Ukraina bekerja tidak hanya untuk menembak jatuh dan menghancurkan rudal, tetapi juga untuk mengidentifikasi orang yang dapat memprogram rudal ini. Oleh karena itu, saya tidak akan terkejut jika tidak hanya perangkat keras tetapi juga perangkat lunak yang disebut habis di Rusia,” kata Grozev.
Mengenai Mariupol, jurnalis senior itu mencatat bahwa pertempuran di kota pelabuhan itu hanya kalah taktis.
Namun, ini tidak berarti kekalahan dalam pertempuran, karena alasan untuk tidak dapat mempertahankan kendali Mariupol adalah kurangnya senjata, masalah di Angkatan Darat atau kurangnya motivasi.
Saat ini, waktu bekerja untuk Ukraina, karena senjata presisi tinggi dipasok setiap minggu, dan apa yang tidak dapat dilakukan Ukraina seminggu yang lalu kemungkinan besar akan mungkin terjadi dalam dua hingga tiga minggu.
"Pada tahap ini, 19 negara siap memberikan senjata berteknologi tinggi ke Ukraina, yang memberikan alasan untuk harapan," ucap Grozev.
Seperti dilaporkan sebelumnya, pasukan pertahanan Ukraina telah melenyapkan sekitar 21.800 penjajah Rusia pada 24 April.
Musuh juga kehilangan 873 tank tempur utama, 2.238 kendaraan tempur lapis baja, 408 sistem artileri, 147 sistem MLR, 69 sistem pertahanan udara, 179 pesawat, 154 helikopter, 1.557 kendaraan bermotor, delapan kapal/cutter, 76 tanker bahan bakar, 191 UAV tingkat operasional dan taktis, 28 unit peralatan khusus, dan empat peluncur rudal taktis. (TribunWow.com/Anung/Via)