Konflik Rusia Vs Ukraina
Kilas Balik ke 2014, Putin Jelaskan Awal Mula Konflik Ukraina pada PBB dari Sudut Pandang Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin menjelaskan pokok permasalahan konflik antara negaranya dengan Ukraina.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin menjelaskan pokok permasalahan konflik antara negaranya dengan Ukraina.
Ia mengulas kembali permasalahan di semenanjung Krimea dan Donbas pada tahun 2014.
Hal ini dibeberkannya di hadapan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang datang berkunjung ke Moskow.

Baca juga: Kunjungi Rusia Bahas Konflik Ukraina, Sekjen PBB Justru Disindir Zelensky: Tidak Ada Mayat di Moskow
Baca juga: Perdebatan Sengit Sekjen PBB dan Menlu Putin, Rusia Tolak Mediasi hingga Kecam Etika Zelensky
Dilansir TribunWow.com dari media Rusia TASS, Rabu (27/4/2022), Putin mengatakan konflik di kawasan itu terjadi setelah kudeta yang dilakukan di Ukraina pada 2014.
"Seluruh masalah terjadi setelah kudeta di Ukraina pada tahun 2014. Seperti yang orang katakan, hal ini memberikan keuntungan bagi mereka yang melakukannya, tetapi ini memang kudeta yang inkonstitusional," kata Putin.
Menurutnya, penduduk Krimea dan Sevastopol telah membuat keputusan tentang kemerdekaan dan kemudian meminta untuk bergabung dengan Rusia.
Menjelaskan pada Guterres, Putin membandingkan keputusan ini dengan situasi di Kosovo.
"Dengan satu-satunya perbedaan bahwa keputusan tentang kedaulatan di Kosovo dibuat oleh parlemen, sementara di Krimea dan Sevastopol, pada referendum populer," terangnya.
Masalah dengan Ukraina muncul mengenai wilayah di tenggara negara itu, di mana penduduk dari dua daerah pemilihan tidak setuju dengan kudeta yang terjadi.
Sebagai hasilnya, masyarakat di wilayah tersebut mengalami tekanan yang sangat kuat.
"Termasuk dengan operasi militer skala besar, penggunaan penerbangan tempur dan material berat," kata Putin.
Rusia kemudian menyinggung adanya kesepakatan yang telah dijalin dengan Ukraina untuk menanggulangi konflik.
Perjanjian itu disebut dengan pernjanjian Minsk karena diadakan di ibu kota Belarus, Minsk.
"Setelah upaya gagal berikutnya dari otoritas Kiev untuk menyelesaikan masalah di bawah tekanan militer, kami mencapai penandatanganan perjanjian di Minsk, yang disebut Perjanjian Minsk," beber Putin.
"Ini adalah upaya penyelesaian damai situasi di Donbass."
Putin mengatakan Ukraina melanggar perjanjian Minks lantaran melakukan blokade selama 8 tahun di wilayah Donest dan Luhanks atau yang dikenal sebagai Donbass.
"Namun, untuk penyesalan kami, orang-orang yang tinggal di sana menemukan diri mereka dalam blokade selama delapan tahun," tutur Putin.
"Otoritas Kiev secara terbuka mengumumkan bahwa mereka telah mengorganisir blokade wilayah ini, mereka berani mengumumkan bahwa ini adalah blokade, meskipun awalnya telah meninggalkan itu, dan melanjutkan tekanan militer."
Akhirnya, Rusia memutuskan untuk mendukung pasukan separatis di Donetsk dan Luhanks untuk mendapatkan kemerdekaan mereka.
Sebelum melakukan invasi, Rusia telah mengakui kedaulatan Republik Donetsk (DPR) dan Republik Luhanks (LPR).
Hal ini dipicu ucapan petinggi Ukraina yang menekankan adanya keterpaksaan untuk melakukan perjanjian Minks.
"Pihak berwenang Kiev benar-benar di depan umum, melalui mulut para pemimpin tinggi pemerintah, mengumumkan bahwa mereka tidak bermaksud untuk melakukan Perjanjian Minsk," sebut Putin.
Presiden 69 tahun itu menegaskan Rusia harus ikut campur untuk menghentikan genosida yang dilakukan Ukraina pada warga Donbas.
Karenanya, pihaknya nekat untuk menyerang dengan tujuan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.
"Rusia harus mengakui negara-negara ini sebagai negara yang mandiri dan mandiri, untuk tujuan mengakhiri genosida pada orang yang tinggal di wilayah ini," pungkasnya.
Namun, Rusia juga menuntut pengakuan Ukraina atas wilayah semenanjung Krimea yang berhasil direbutnya dari negara Zelensky.
Baca juga: Moldova Adakan Rapat Darurat setelah Alami Rentetan Pengeboman, Bersiap Hadapi Invasi Rusia?
Baca juga: Wajah Prajurit Sukarelawan di Bucha Dimutilasi Pasukan Rusia, Tentara Ukraina: Dunia Harus Melihat
Rusia Dikabarkan akan Invasi Moldova
Negara tetangga Ukraina, Moldova, resmi mendaftarkan diri sebagai anggota Uni Eropa (EU).
Setelah sebelumnya sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Belarusia Alexander Lukashenko terlihat menyiarkan rencana invasi ke negara tersebut.
Beredar kabar bahwa hal ini merupakan implementasi obsesi Putin untuk kembali mengibarkan bendera Uni Soviet.
Dilansir Aljazeera, Kamis (3/3/2022), pengajuan Moldova untuk menjadi anggota EU didaftarkan setelah sepekan invasi Rusia ke Ukraina.
Presiden Moldova, Maia Sandu, mengumumkan peresmian tersebut dan menjelaskan alasan di balik keputusannya.
"Kami ingin hidup dalam perdamaian kesejahteraan, dan menjadi bagian dari dunia yang merdeka," kata Maia Sandu.
"Saat sejumlah keputusan memerlukan waktu, yang lain harus dibuat secara cepat dan tepat, dan memanfaatkan kesempatan yang datang dengan perubahan dunia."
Bekas jajahan republik Uni Soviet yang berbatasan dengan Ukraina dan Rumania itu, rentan menjadi sasaran lantaran berbatasan langsung dengan wilayah yang diserang Rusia.
Tak hanya Moldova, negara tetangga Georgia yang merupakan eks Republik Uni Soviet, juga memiliki kekhawatiran serupa.
Bahkan, Georgia sudah lebih dulu mendaftarkan negaranya daripada Moldova.
Ketakutan menjalar setelah Rusia menginvasi Ukraina sejak Kamis (24/2/2022).
Apalagi, belum lama ini beredar video Presiden Belarusia ketika mengadakan rapat militer bersama jajarannya.
Dilansir nypost, Kamis (3/3/2022), dalam video tersebut, Alexander Lukashenko terlihat berdiri di depan sebuah peta komando pertempuran.
Ia menunjukkan serangan yang tampaknya direncanakan dari Ukraina selatan ke Moldova.
Peta tersebut membagi Ukraina menjadi empat bagian, di mana garis serangan yang disorot telah dilakukan oleh Rusia.
Wartawan Belarusia, Tadeusz Giczan, mencatat adanya rencana serangan ke Transnistria yang merupakan wilayah pecahan Moldova melalui pelabuhan Ukraina di Odessa.
Adapun awal tahun ini, intelijen militer Ukraina sempat memperingatkan bahwa Rusia merencanakan operasi bendera palsu di Moldova sebagai dalih untuk intervensi militer di Transnistria, yang dikendalikan oleh separatis pro-Rusia.(TribunWow.com/Via)