Konflik di Afghanistan
Dilanda Kemiskinan dan Kelaparan, Keluarga di Afghanistan Terpaksa Jual Bayinya Seharga Rp 7 Juta
Keluarga di Afghanistan terpaksa melepaskan bayi perempuannya untuk ditukar dengan uang senilai Rp 7 juta karena mengalami kemiskinan dan kelaparan.
Penulis: Alma Dyani Putri
Editor: Elfan Fajar Nugroho
TRIBUNWOW.COM – Afghanistan dilanda krisis pangan terburuk hingga setengah penduduknya terancam kelaparan.
Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan, hampir satu juta anak berisiko alami kelaparan, terlebih lagi menjelang musim dingin.
Sejak penguasaan Taliban pada 15 Agustus lalu, perekonomian di Afghanistan semakin memburuk hingga keluarga miskin yang begitu putus asa, terdorong untuk menjual anak mereka.

Baca juga: Larangan Taliban Buat Harga Opium Melonjak, Pedagang di Afghanistan: Haram tapi Tak Ada Pilihan Lain
Baca juga: Taliban Tak Segera Bayar Tagihan Listrik, Afghanistan Terancam Bisa Kembali ke Abad Kegelapan
Dilansir dari The Mirror, satu di antara keluarga di luar Kota Herat, menceritakan bagaimana mereka terpaksa menjual bayi perempuannya.
Mereka melepaskan bayinya untuk ditukar dengan uang senilai sekitar Rp 7 juta, kepada seorang pria yang tinggal di dekat rumahnya.
Menurut pengakuannya, pria tersebut mengklaim akan menikahkan bayi perempuan itu dengan putranya ketika sudah cukup umur.
Meskipun berat, tetapi orangtua bayi perempuan itu menyadari bahwa gadis mereka mungkin akan menghadapi masa depan yang jauh lebih buruk jika tetap tinggal dengan mereka.
Di sisi lain, menikahi putra dari pria yang membelinya, dirasa akan lebih baik.
“Anak-anak saya yang lain sekarat karena kelaparan, jadi kami harus menjual putri saya,” kata sang ibu yang tidak disebutkan namanya kepada BBC.
Sambil menangis, wanita tersebut mengaku begitu sedih, tetapi tak ada pilihan lain baginya saat ini.
“Bagaimana saya tidak sedih? Dia adalah anak saya,” ujarnya.
“Saya berharap saya tidak harus menjual putri saya.”
Warga Afghanistan telah menghadapi krisis uang tunai sejak Taliban menguasai ibu kota Kabul pada 15 Agustus lalu, dengan pemutusan akses oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan bank sentral Amerika Serikat.
Bahkan sebelum mantan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, meninggalkan negara itu dan Taliban mengambil alih, Afghanistan sudah menghadapi perlambatan ekonomi.
Hal itu diperburuk oleh pandemi global Covid-19 dan kekeringan berkepanjangan yang semakin menghancurkan ekonomi Afghanistan, yang sangat bergantung pada sektor pertanian.
Lapangan pekerjaan semakin berkurang di negara tersebut, dengan penetapan berbagai aturan dan larangan oleh pemerintahan baru bentukan Taliban.
Wanita hanya boleh bekerja di sektor kesehatan dan pendidikan, sementara para pria juga kesulitan untuk mencari kerja.
Hal serupa juga dikeluhkan oleh keluarga yang terpaksa menjual anak perempuannya itu.
Satu-satunya pekerjaan sang suami hanya mengumpulkan sampah secara lokal.
Namun, pekerjaan itu pun sekarang tidak bisa lagi menghasilkan uang.
“Kami kelaparan. Saat ini kami tidak memiliki tepung, tidak ada minyak di rumah. Kami tidak punya apa-apa,” kata sang suami.
Pria yang membeli putrinya telah membayar setengah dari biaya yang dijanjikan.
Penyerahan bayi tersebut akan dilakukan setelah putri mereka lebih dewasa dan sudah bisa berjalan.
Saat itu, sisa uang pembayaran juga akan diserahkan kepada pihak keluarga.
“Putri saya tidak tahu seperti apa masa depannya,” tambah sang suami.
“Saya tidak tahu bagaimana perasaannya tentang itu, tetapi saya harus melakukannya.”

Di sisi lain, di tengah krisis ekonomi yang semakin memburuk, Taliban dilaporkan telah meluncurkan program baru yang menawarkan gandum sebagai imbalan atas tenaga kerja.
Dilansir dari Hindustan Times yang mengutip laporan dari surat kabar Dawn, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan hal tersebut dalam konferensi pers.
Mujahid menyebutkan program pembayaran dengan gandum akan diluncurkan di kota-kota besar Afghanistan, dengan tujuan untuk mempekerjakan 40 ribu orang di Kabul.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa para pekerja yang menganggur dan paling berisiko mengalami kelaparan, akan ditawari gandum daripada uang.
“Ini adalah langkah penting untuk memerangi pengangguran,” kata Dawn mengutip pernyataan Zabihullah Mujahid.
Baca juga: Laporan Rahasia Terungkap, Bank Sentral Afghanistan Sudah Kehabisan Uang sebelum Kemenangan Taliban
Baca juga: Tukang Cukur di Afghanistan Khawatirkan Dampak Aturan Potongan Rambut Pria oleh Taliban
PBB telah memperingatkan hampir 23 juta warga Afghanistan terancam kelaparan karena konflik, kekeringan dan penurunan ekonomi, yang mempengaruhi mata pencaharian dan akses masyarakat atas makanan saat musim dingin.
Dilansir dari The Guardian, jumlah tersebut meningkat hampir 35 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
“Afghanistan sekarang berada di antara krisis kemanusiaan terburuk di dunia,” kata Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia, David Beasley.
“Musim dingin ini, jutaan warga Afghanistan akan dipaksa untuk memilih antara migrasi dan kelaparan,” tambahnya.
Beasley juga mengatakan bahwa Afghanistan sedang menghitung mundur untuk menghadapi bencana.
Pengambilalihan Taliban pada Agustus lalu, telah berkontribusi pada pergolakan ekonomi.
Itu karena miliaran dolar dalam pembayaran bantuan asing, yang menyumbang 40 persen dari produk domestik bruto negara itu telah berhenti, dan hampir Rp 141,5 triliun aset bank sentral Afghanistan dibekukan.
Dalam laporan PBB disebutkan bahwa setengah dari semua warga Afghanistan, akan menghadapi krisis pangan parah antara November 2021 dan Maret tahun depan.
Ketika keputusasaan tumbuh, jumlah pengemis di seluruh kota-kota besar Afghanistan, termasuk anak-anak, telah meningkat.
Baik masyarakat perkotaan dan pedesaan, untuk pertama kalinya menderita tingkat krisis pangan yang sama.
Saat ini, uang tunai sebagian besar tidak tersedia di Afghanistan.
Sementara banyak pegawai pemerintah menunggu gaji yang belum dibayar.
Di ibu kota Kabul, pengemis terlihat hampir di setiap sudut jalan. (TribunWow.com/Alma Dyani P)
Berita terkait Konflik di Afghanistan lain