Terkini Nasional
Pendapat Psikolog Forensik soal Kebiri Kimia Predator Anak, Sebut Berpeluang Buat Pelaku Makin Ganas
Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, ada beberapa hal yang membuat aturan kebiri kimia terhadap predator sekual anak tidak efektif.
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUNWOW.COM - Keputusan Presiden Jokowi meneken aturan hukuman kebiri kimia pada predator seksual terhadap anak menuai pro dan kontra.
Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak
Terkait hal itu, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, ada beberapa hal yang membuat aturan tersebut tidak efektif.
Baca juga: Sebut Hukuman Kebiri Tak Efektif, Komnas Perempuan Minta Pertimbangkan Ulang: Belum Lagi soal Biaya
Pertama, dalam aturan tersebut, pelaku pelecehan seksual tidak diberikan zat kimia tersebut secara berulang.
"Seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia diselenggarakan beberapa kali."
"PP Nomor 70 tahun 2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang," kata Reza kepada Tribunnews, Senin (4/1/2021).
Kedua, dalam aturan itu, Konsultan Lentera Anak Foundation ini menyoroti penempatan kebiri kimia yang sepenuhnya ditentukan oleh hakim.
Artinya, hal tersebut justru bisa membuat pelaku pelecehan seksual anak menjadi lebih ganas karena amarahnya.
"Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku."
"Sehingga menjelma sebagai predator mysoped (lebih buas), sehingga justru mempertinggi risiko residivisme pelaku," ujarnya.
Ketiga, dalam aturan tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring.
Reza menjelaskan, pelaku memang tidak melakukan secara fisik dengan korbannya.
Baca juga: Komnas PA Sambut Baik Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kekerasan Seksual: Perspektifnya Perlindungan Anak
Namun, secara virtual, pelaku mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri.
"Dalam situasi seperti itu, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya."
"Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban," ujar Reza.
Keempat, ia juga mempertanyaan aturan yang mengatur kebiri kimia tidak dikenakan pada pelaku yang berusia anak-anak.
Padahal, menurutnya dinamika psikoseksual pada anak-anak dan orang dewasa sangat berbeda.
"Bahkan antar sesama anak, karena juga terbagi ke dalam sekian tahap perkembangan, dinamika psikoseksual mereka juga berlainan satu sama lain."
"Pelaku 16 tahun dan pelaku berumur 6 tahun tentu berbeda tajam, walau mereka masih sama-sama berada dalam kategori anak-anak."
"Bagi pelaku berumur 16 tahun itu, karena kematangan seksualnya sudah berada pada fase lanjut, maka kebiri kimia justru bisa bermanfaat positif," tuturnya.
Kemudian yang kelima, Reza juga menyoroti soal pelaku pelecehan seksual berusia belasan tahun yang tidak diberi hukuman kebiri kimia.
Padahal, dalam usia belasan tahun itu justru dorongan seksual pada anak sedang tinggi-tingginya.
"Bayangkan predator 15 tahun baru keluar penjara setelah lepas dari usia 18 tahun."
"Merujuk PP Nomor 70 tahun 2020 ia tidak akan diberikan tindakan kebiri kimia karena masih anak-anak saat dipidana."
"Padahal, justru setelah melewati usia anak-anak itulah dorongan seksualnya baru menjadi predisposisi jahat," kata Reza.
Selanjutnya, ia juga menyoroti soal aturan dalam PP Nomor 70 tahun 2020 yang menyebut kebiri kimia bukan pemberatan sanksi.
Namun tindakan yang dilangsungkan bersama rehabilitasi.
Menurutnya, karena bukan penghukuman, maka ia memprediksi dokter akan menjadi eksekutor kebiri.
"Sisi lain, karena kebiri merupakan tindakan, maka persetujuan pelaku harus dipenuhi."
"Tanpa consent, kebiri kimia justru akan menjadi perlakuan yang dipaksakan kepada diri pelaku. Tidakkah ini melanggar etika profesi?" ujarnya.
Seperti diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020.
Aturan itu mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Presiden resmi menekan aturan tersebut pada 7 Desember 2020 lalu.
PP tersebut merupakan peraturan turunan dari Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 2 ayat 1 PP itu, pelaku persetubuhan terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bisa dikenakan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.(Tribunnews.com/Maliana)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Efektifkah Pelaku Pelecehan Seksual Anak Diberi Hukuman Kebiri Kimia? Ini Pandangan Ahli